Ade Fitrie Kirana Sebut Masyarakat Ingin Pemilu Jadi Ajang Politik yang Bersih

oleh
Ketua Umum Yayasan Perlindungan Perempuan dan Anak ( YPPA), Ade Fitrie Kirana. Foto: Istimewa
Ketua Umum Yayasan Perlindungan Perempuan dan Anak ( YPPA), Ade Fitrie Kirana. Foto: Istimewa

Jakarta, indomaritim.id – Raden Siti Fitrie Kirana yang akrab dipanggil Ade Fitrie Kirana yang saat ini menjabat Ketua Umum Yayasan Perlindungan Perempuan dan Anak ( YPPA) bersyukur Indonesia telah menyelesaikan satu tahapan pesta demokrasi.

Ade Fitrie Kirana yang maju sebagai calon legislatif bernomer urut 6 dapil 8 Jakarta Selatan dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini menyebut masyarakat memiliki harapan besar terhadap anggota DPR, DPRD dan DPD yang lolos dipilih saat Pemilu.

“Pemilu 2019 diharapkan menjadi ajang kontestasi orang-orang yang tidak pernah terkait dengan korupsi. Harapan ini merupakan harapan yang sangat wajar ditengahnya maraknya korupsi oleh penyelenggara negara,” kata Ade Fitrie Kirana kepada Merdeka.com, Kamis (25/4/2019).

Ia menambahkan, upaya KPU menyaring calon anggota legislatif yang bebas korupsi diapresiasi oleh publik, meskipun kebijakan itu tidak menjadi jaminan bagi kontestasi politik yang bersih dari tindakan korupsi.

“Dan pastinya mayoritas masyarakat menginginkan agar pemilu harus menjadi kontestasi politik yang bersih. Karena bagaimanapun pemilu tidak lain untuk menemukan legislatif dan eksekutif yang baik sebagai penyelenggara negara,” ujarnya.

“Upaya KPU dan keinginan masyarakat untuk menghadirkan legislatif yang bersih merupakan keinginan yang selalu bersemanyam dihati masyarakat. Hal ini tentunya mengingat anggota legislatif memiliki kewenangan di bidang legislasi, penganggaran dan pengawasan serta eksekutif sebagai penyelenggara pembangunan,” kata Ade Fitrie Kirana yang juga dikenal publik sebagai pesinetron ini.

Ade Fitrie Kirana mengatakan, dirinya miris dengan praktik politik uang dalam bentuk ‘serangan fajar’ atau pembagian uang di hari pencoblosan.

Menurut dia, banyak kandidat, seperti calon legislatif melakukan ‘serangan fajar’ karena tidak percaya diri akan menang sehingga menempuh cara itu untuk ‘mengunci suara’.

“Serangan fajar ini model mengunci suara, karena mereka menerima ada kecenderungan belum menentukan untuk memilih. Tetapi kalau tanpa ada hubungan emosional sebelumnya, saya kira tidak semudah itu masyarakat memilih,” lanjutnya.

Ia menambahkan, selama satu tahun ini bersyukur langsung menemui masyarakat dan menyelami aspirasi masyarakat.

“Alhamdulillah, semua responnya sangat istimewa dan luar biasa. Dan suka dukanya banyak sekali saya lalui. Ini benar benar memerlukan kesabaran, ketekunan, dan ketawakalan untuk menghadapi semua apalagi tidak ada yang murah dalam perjuangan kampanye saya,” ujarnya.

Oleh karena itu, Ade Fitrie Kirana berpendapat politik uang terjadi bukan hanya karena masyarakat tidak cerdas. Hal itu marak terjadi di setiap pemilu karena sikap para caleg dan parpol yang pragmatis.

“Kalau kemudian tidak ada parpol dan caleg membagikan uang, saya kira masyarakat tidak akan menuntut bahkan mereka akan lebih bisa netral melihat mana caleg yang mau turun dan bekerja,” ucapnya memungkasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *