Bintan, indomaritim.id – Tambang buksit di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau seperti berkah dan bencanan yang datang sekaligus. Tambang bauksit tidak terbendung, meski dilakukan di kawasan terlarang.
Alat berat yang digunakan untuk mengeruk lahan tambang yang mengandung bauksit tidak hanya dilakukan di daratan, melainkan juga pulau-pulau. Bahkan di kawasan hutan pun digarap pelaku tambangan bauksit.
Rasa pesimisme berbagai kalangan pun muncul ke pertambangan bauksit semakin menggila, meski tim penegakan hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berakhir sekitar tiga pekan lalu. Kesan yang muncul seperti ada kekuatan besar yang melindungi pengusaha yang melakukan pertambangan bauksit.
“Siapa mereka yang berani melawan negara? Ini harus dibongkar,” kata Ketua Kelompok Diskusi Anti 86, Ta’in Komari.
Pertambangan bauksit di Bintan mulai menggeliat setelah PT Gunung Bintan Abadi mendapat izin ekspor bauksit seberat 1,6 juta metrik ton ke Tiongkok mulai 19 Maret 2018-19 Maret 2019.
Izin itu diterbitkan Ditjen Perdagangan Luar Negeri setelah Gubernur Kepri Nurdin Basirun memberi IUP Operasi Produksi melalui Surat Keputusan Nomor 948/KPTS-18/V/2017 tertanggal 10 Mei 2017.
Data yang diperoleh dari Antara menunjukkan PT GBA tidak bermain sendiri. Ijin itu sebagai pintu masuk bagi perusahaan lainnya untuk melakukan aktivitas pertambangan dengan berbagai modus.
PT GBA yang diberi ijin untuk melakukan aktivitas pertambangan di Tembeling di atas lahan seluas sekitar 90 hektare di Tembeling itu bekerja sama belasan perusahaan lainnya dengan membagi kuota bauksit kepada belasan perusahaan.
Perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan PT GBA pun mengajukan ijin untuk pembangunan taman, kolam, pemotongan lahan, kawasan wisata, dan kolam dan lainnya. Ijin yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Bintan itu sebagai dasar untuk melakukan aktivitas pertambangan.
Sebagai contoh, PT Buana Sinar Khatulistiwa yang mengajukan izin untuk pembangunan panggung di lokasi taman yang rencananya akan dibangun Pemkab Bintan. Warga mengenal, Bobby Satya Kifana sebagai orang yang melakukan pertambangan di lokasi tersebut.
Bobby ternyata menjabat sebagai Sekretaris Camat Bukit Bestari Kota Tanjungpinang. Ia mengaku hanya menanamkan modal di perusahaan itu.
Sampai sekarang panggung belum tampak dibangun di lokasi pertambangan yang berhadapan dengan Polsek Teluk Bintan, kantor kecamatan, kelurahan, dan SPAM. Padahal pertambangan bauksit sudah dilakikan di atas lahan seluas 3 hektare.
Di dekat lokasi itu pula, perusahaan menggarap lahan seluas 2 hektare, dengan alasan membangun Pos Babinsa. CV Buana Sinar Khatulistiwa mendapatkan izin dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Atap Kepri untuk memproduksi dan menjual bauksit dengan kuota 150 ribu matrix ton. Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 3141/KPTS-18/XI/2018 tertanggal 7 November 2018 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan dan Operasi Produksi Untuk Penjualan CV Buana Sinar Khatulistiwa. Uniknya, keputusan gubernur itu ditandatangani Kepala PTSP saat itu, Azman Taufik.
Izin tersebut diberikan berdasarkan permohonan yang diajukan perusahaan itu pada 25 Oktober 2018. Namun kegiatan eksploitasi, pengangkutan dan penjualan batu bauksit dilakukan sejak Februari 2018.
Perusahaan ini juga melakukan aktivitas pertambangan di Pulau Dendang.
“Kami jual kepada PT GBA,” kata Bobby.
Modus yang sama juga dilakukan perusahaan lainnya, yang memperoleh ijin dari Pemkab Bintan, Dinas ESDM dan Dinas PTSP Kepri. Dinas ESDM Kepri dalam beberapa bulan terakhir mengeluarkan 19 ijin angkut dan jual bauksit kepada perusahaan.
Perusahaan yang mendapat ijin dari Dinas ESDM Kepri yakni CV Buana Sinar Khatuliswa mendapat empat ijin, Koperasi HKTR Bintan, CV Sang He, CV Kuantan Indah Perdana, Badan Usaha Milik Desa Maritim Jaya, CV Cahaya Tauhid Alam Lestari, CV Gemilang Mandiri Sukses mendapat tiga ijin, CV Tan Maju Bersama mendapat dua ijin, CV Swakarya Mandiri, PT Zadya Putra Bintan, CV Hang Tuah, CV Bintan Jaya Sejahtera dan CV Martia Lestari.
Informasi yang beredar di antara sesama pelaku pertambangan bauksit, nama-nama yang berada di balik pertambangan bauksit tidak hanya pengusaha dan oknum birokrat, melainkan juga politisi, oknum anggota TNI dan oknum anggota DPRD Bintan.
Di balik PT GBA terdapat nama Jupen. Sementara Dirut PT GBA Edi Purwanto. Dalam aktivitas pertambangan di sejumlah pulau ini juga muncul nama Tihua.
Kepala Seksi Pengusahaan Mineral Dinas ESDM Kepri Masiswanto menyatakan pihaknya sudah mencabut ijin Koperasi HKTR Bintan, CV Sang He, CV Kuantan Indah Perdana, Badan Usaha Milik Desa Maritim Jaya, CV Cahaya Tauhid Alam Lestari. Ijin tersebut dicabut setelah tim penegakan hukum menyegel lokasi pertambangan.
Masiswanto berkelit, perusahaan tersebut tidak melakukan aktivitas pertambangan. Berdasarkan ijin yang dikeluarkan oleh Pemkab Bintan, perusahaan itu membangun kolam, taman, gudang dan tempat pariwisata. Ketika proses pembangunan, ditemukan bauksit.
Namun ketika ditanya apakah ada petugas dari Dinas ESDM Kepri yang mengawasi pelaksanaan ijin angkut dan ijin jual, ia mengatakan hal itu bukan wewenang Dinas ESDM Kepri.
Ia juga tidak mengetahui jika aktivitas pertambangan sudah dimulai sebelum ijin dikeluarkan Dinas ESDM Kepri.
Pihak perusahaan dapat menjual bauksit di tingkat lokal, bukan untuk diekspor. Ia mengaku tidak mengetahui kalau batu bauksit itu dijual kepada PT GBA.
“Yang boleh ekspor itu hanya PT GBA. Kalau ada aktivitas ilegal, silahkan instansi terkait menindaknya,” ucapnya, yang baru dua bulan menjabat sebagai Kepala Seksi Pengusahaan Mineral Dinas ESDM Kepri.
Data mengejutkan juga disampaikan Masiswanto bahwa sampai sekarang tidak ada pembangunan fasilitas pemurnian mineral di dalam negeri, yang seharusnya dibangun PT GBA di Tembeling.
“Lokasi pertambangan PT GBA itu di Tembeling. Berdasarkan dokumen perencanaan, ‘smelter” dibangun di Tembeling. Kami belum lihat fisiknya,” tegasnya.
Sementara ketika ditanya apakah PT GBA boleh membeli bauksit dari perusahaan lainnya, Masiswanto menegaskan tidak boleh, apalagi yang berasal dari aktivitas pertambangan bauksit ilegal.
Tidak Jera
Tambang bauksit pada sejumlah kawasan di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau tidak terhentikan, meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menyegelnya.
Di sejumlah lokasi pertambangan bauksit yang sudah disegel, dan dipasang papan larangan untuk melakukan pertambangan, pihak perusahaan nakal pun tidak menghiraukannya. Contohnya, aktivitas pertambangan masih dilakukan di Gisi, Bintan Buyu dan Tembeling.
Di Tembeling salah satu pemain bauksitnya bernama Amin. Sampai sekarang Amin masih melakukan pertambangan bauksit dengan berbagai modus.
Tembeling, salah satu kawasan tua di Kabupaten Bintan, yang berhadapan dengan Gunung Bintan itu dalam kondisi rusak parah.
Amin mengaku ingin membangun kolam ikan. Sementara, ikan tidak dapat hidup di kolam bekas pertambangan bauksit karena mengandung zat kimia.
Lebih ironis lagi pertambangan di Bintan Buyu, yang berada di dekat kawasan pusat Pemerintahan Bintan. Truk yang mengangkut bauksit menuju pelabuhan menggunakan jalan yang dibangun pemerintah.
“Kalau siang hari tidak ada aktivitas. Tetapi malam hari beraktivitas lagi,” katanya.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Bintan dan Tanjungpinang Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan ((DLHK) Kepri, Ruwa.
Ruwa pun pusing melihat kondisi ini. Ia juga tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk menangani permasalahan itu. Dan yang paling mencengangkan, tim yang dipimpin DLHK Kepri merasa “jalan sendiri”.
“Kami segel di kawasan Bintan Buyu ketika Pak Wagub Kepri sidak di lokasi tersebut,” ujarnya.
Tim Penegakan KLKH yang beberapa pekan lalu berada di Bintan menemukan aktivitas pertambangan bauksit di kawasan hutan di ulu Tanjung Elong, Buton dan Koyang. Selain menyegel sejumlah lokasi tambang di pulau-pulau itu, tim juga menyegel sejumlah lokasi pertambangan di daratan Bintan.
Tim penegakan hukim sampai sekarang belum menyelesaikan tugasnya, meski sudah gelar perkara di Pekanbaru. Tim itu sempat menghentikan penegakan hukum karena berbagai permasalahan.
“Kami mengatur strategi selanjutnya. Tim khusus sudah terbentuk. Kami tegaskan, kami memiliki komitmen untuk menuntaskan permasalahan ini,” kata Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Ditjen Penegakan Hukum KLHK, Sustyo Iriyono.
Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Riau – Kepulauan Riau Rico Kurniawan berpendapat putusan Ditjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM terkait pencabutan rekomendasi ekspor bauksit kepada PT Gunung Bintan Abadi wajib dipatuhi.
Putusan tersebut sudah cukup jelas sehingga Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan wajib menindaklanjutinya.
“Surat dari Kementerian ESDM itu sudah cukup jelas, ada alasan kenapa perusahaan itu dikenakan sanksi berupa pencabutan izin ekspor. Ditjen Perdagangan Luar Negeri dan instansi lainnya harus menaati putusan itu,” katanya.
Ditjen Mineral dan Batubara pada 8 Februari 2019 mengeluarkan Surat Nomor 546/30.05/DJB/2019 tentang Pencabutan Rekomendasi Ekspor Mineral Logam Dengan Kriteria Tertentu kepada PT GBA.
Berdasarkan surat tersebut terdapat lima poin penting yang menjadi dasar kenapa perusahaan itu dikenakan sanksi.
Berdasarkan hasil pengawasan Kementerian ESDM terhadap kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian mineral di dalam negeri, dan kegiatan penjualan mineral ke luar negeri bagi perusahaan pemegang rekomendasi persetujuan ekspor.
Poin pertama ditegaskan berdasarkan Pasal 55 ayat (4) Permen ESDM Nomor 25/2018 mengatur tentang verifikasi kemajuan fisik pemurnian fasilitas pemurnian di dalam negeri dialihkan secara bekala setiap enam bulan oleh verifikator independen.
Poin kedua, Pasal 55 (5) Permen ESDM Nomor 25/2018 mengatur tentang kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian sebagaimana dimaksud harus mencapai paling sedikit 90 persen dari rencana kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian yang dihitung secara kumulatif sampai satu bulan terakhir.
Sementara poin ketigas ditegaskan, Pasal 55 ayat (7) Permen ESDN Nomor 2018 mengatur dalam hal setiap 6 bulan persentase kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian tidak mencapai 90 persen.
Direktur Jenderal atas nama menteri menerbitkan rekomendasi kepada direktur jenderal yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan luar negeri untuk mencabut persetujuan ekspor yang telah diberikan.
Berdasarkan laporan hasil verifikasi kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian 6 bulanan yang diverifikasi oleh PT Sucofindo (persero) progress kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian PT GBA hanya mencapai 75,51 persen dari rencana yang ditetapkan.
“Alasan lainnya juga memperkuat agar pertambangan bauksit harus dihentikan, seperti temuan di lapangan bahwa pertambangan bauksit merusak lingkungan hidup dan hutan,” tegasnya.
Kepala Seksi Pengusahaan Mineral Dinas ESDM Kepri Masiswanto, aktivitas pertambangan masih dapat dilakukan PT GBA, karena Kementerian Perdagangan belum mencabuti ijin ekspornya
Terkait permasalahan itu, Ketua Kelompok Diskusi Anti 86, Ta`in Komari, mengatakan, persoalan “smelter” atau fasilitas pemurnian bauksit agak aneh. Sampai hari ini ia belum melihat atau mendapat informasi bahwa PT GBA membangun “smelter”.
Sementara berdasarkan data yang diterimanya, aktivitas pertambangan sudah berlangsung sekitar setahun, dan berakhir pada 19 Maret 2019 sesuai surat pemberian kuota ekspor seberat 1,6 juta metrik ton kepada PT GBA.
Bauksit yang diambil dari dalam bumi langsung, dikumpulkan, kemudian diangkut ke dalam kapal tongkang.
“Agak aneh dengan pemberian izin ini. Di satu sisi negara ingin meningkatkan nilai produksi hasil tambang, namun di sisi lain hal itu tidak diatur dengan bijak sehingga bauksit mentah langsung diekspor,” katanya.
Laporkan
Lembaga Swadaya Masyarakat Kelompok Diskusi Anti 86 melaporkan Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun dan Bupati Bintan Apri Sujadi kepada KPK terkait pemberian ijin pertambangan bauksit di daerah tersebut.
“Kami masih koordinasi dengan KPK, dan membantu memperkuat data,” kata Ketua Kelompok Diskusi Anti 86, Ta’in Komari.
Gubernur Nurdin Basirun dan sejumlah pejabat di Dinas ESDM dan Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) memberi ijin kepada belasan perusahaan yang bukan perusahaan tambang bauksit untuk mengeksploitasi lahan pada sejumlah kawasan di Bintan.
Izin khusus yang diberikan oleh Dinas PTSP dan Dinas ESDM Kepri sebagai pintu masuk lahirnya surat-surat lainnya yang dikeluarkan hingga di tingkat dinas dan kecamatan di Kabupaten Bintan. Surat keputusan tersebut pula melahirkan aktivitas pertambangan di kawasan hutan di pulau-pulau, dan sejumlah lokasi yang menyebabkan terjadi kerusakan lingkungan.
Bahkan aktivitas pertambangan juga dilakukan di dekat pemukiman warga. Sementara aktivitas pengangkutan bauksit, terutama di pelabuhan tempat kapal bersandar menyebabkan pencemaran laut.
“Dari penelusuran kami, ditemukan sejumlah dokumen yang mengarah pada kongkalikong antara pengusaha dengan oknum di pemerintahan, yang melahirkan ijin khusus yang diberikan kepada perusahaan yang melakukan pertambangan. Jalan pintas untuk menambang dilakukan seolah-olah perusahaan yang akan membangun taman, kolam ikan, gudang dan lain-lain itu mendapatkan batu bauksit saat mengerjakan kegiatan tersebut,” ujarnya.
Ia membeberkan sejumlah fakta bahwa aktivitas tambang dilakukan sebelum izin diberikan. Hal itu memperkuat dugaan bahwa perusahaan tersebut tidak semata-mata berniat membangun taman, kolam ikan, kolam air bersih maupun gudang, melainkan mengincar batu tambang bauksit, yang dijual kepada PT Gunung Bintan Abadi yang mendapat kuota ekspor ke China seberat 1,6 juta ton.
“Kondisi sekarang lokasi yang ditanbang rusak parah. Bagaimana mungkin membangin kolam ikan, contohnya di lokasi tambang bauksit? Ikan tidak akan hidup di dalam kolam yang mengandung kadar besi, aluminium dan zat lainnya,” katanya.
Ta’in menduga Surat Keputusan Gubernur Kepri sebagai pintu masuk lahirnya surat keputusan lainnya, termasuk dari pemerintah pusat, yang menyebabkan aktivitas tambang bauksit seolah-olah legal. Padahal pihak perusahaan harus mengantongi UKL/UPL.
“Ada apa dengan gubernur dan bupati serta jajarannya yang terkait kasus ini? Kami berharap ini menjadi atensi negara,” katanya.
Kondisi itu yang menyebabkan aktivitas tambang bauksit berjalan lancar selama sekitar setahun. Di luar pemerintahan, menurut dia banyak pihak yang tidak memahami peraturan tentang pertambangan, dan peraturan tentang kehutanan dan lingkungan hidup sehingga terkesan diam terhadap permasalahan besar ini.
“Jadi wajar jika aktivitas pertambangan bauksit baru heboh setelah media milik negara memberitakannya dalam tiga pekan terakhir,” tegasnya.
Ta’in menegaskan dugaan adanya pelanggaran semakin ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan tindakan hukum di lokasi pertambangan. Tim penegakan hukum menyegel sejumlah lokasi pertambangan di kawasan hutan, dan di kawasan lain yang merusak lingkungan.
“Kami memberi apresiasi kepada pihak KLHK yang serius menangani permasalahan ini. Diharapkan kasus ini sampai ke meja hijau, seperti kasus pertambangan di daerah lainnya,” ujarnya.
Selain melaporkan Gubernur Kepri dan Bupati Bintan, Ta’in juga melaporkan sejumlah institusi, oknum pemerintahan dan perusahaan yang terlinat dalam kasus ini kepada sejumlah institusi di pusat.
“Kami sangat berharap Mabes AL, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan, dan Kementerian Perhubungan menangani permasalahan ini secara serius,” katanya. 2
Aktivitas penambangan bauksit terjadi di Pulau Dendang, Tembeling, Bekung, Gisi, Pulau Bunut, Pulau Koyang, Pulau Buton, Pulau Malin, Pulau Kelong, Mantang Lama, dan Pulau Tembora.
Lahan yang ditambang mengalami kerusakan yang parah.
Penambangan dilakukan setelah Ditjen Perdagangan Luargeremberi ijin PT Gunung Bintan Abadi (GBA) untuk mengekspor bahan tambang dengan kriteria tertentu.
Keputusan Ditjen Perdagangan Luar Negeri itu menjelang berakhirnya izin ekspor biji mineral yang harus dituntaskan mengatakan, aktivitas pertambangan masih beraktivitas hingga sekarang.
UU Kehutanan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Pemberantasan dan Pencegahan Hutan Lindung.
Kepala Balai Penegakan Hukum Wilayah Sumatera KLHK, Edward Hutapea, yang dihubungi Antara di Bintan, Kamis, mengatakan sebanyak lima perusahaan terlibat dalam aktivitas pertambangan bauksit yang merusak hutan dan lingkungan.
Sementara lokasi pertambangan bauksit yang awalnya hanya 19 titik tambang bauksit yang dideteksi dan disegel oleh tim Penegakan Hukum KLHK, ternyata jumlahnya lebih dari itu. Berdasarkan informasi yang diperoleh tim, masih ada aktivitas pertambangan bauksit di Tembeling, Gisi, Pulau Angkut, Bintan Buyu dan Pulau Telang Kecil.
“Lokasi tambang bauksit itu memang belum kami segel. Kami mengawasi lokasi tersebut, termasuk lokasi yang aktivitas pertambangannya dihentikan,” tegasnya.
Menurut dia, untuk menarik pelaku pertambangan bauksit di lokasi itu, kata dia tidak terlalu sulit lantaran perusahaan-peruasahaan itu menjualnya kepada PT GBA (Gunung Bintan Abadi) yang memperoleh kuota ekspor 1,6 juta metrik ton. Namun, tim KLHK yang menangani kasus itu tidak akan gegabah dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan.
“Pelanggaran yang ditemukan di lapangan selama kami turun ke lapangan seperti aktivitas pertambangan dilakukan di kawasan hutan, dan merusak lingkungan hidup. Kami juga belum melihat adanya dokumen UKL/UPL, padahal wajib ada,” ucapnya.
Edward yang akrab disapa Edo itu juga merasa heran setelah ada pemberitaaan soal pertambangan bauksit ilegal dan unjuk rasa, aktivitas pertambangan masih berlanjut sampai sekarang. Padahal Dinas ESDM Kepri menyatakan komitmennya untuk menghentikan aktivitas pertambangan bauksit yang melanggar ketentuan yang berlaku.
“Kalau masih ada aktivitas pertambangan bauksit, dapat dikategorikan sebagai pembiaran. Tentu ini tidak dibenarkan, karena seharusnya Pemprov Kepri dan Pemkab Bintan memiliki peran mengambil tindakan tegas sesuai ketentuan yang berlaku,” ujarnya.
Beberapa hari lalu, LSM Kelompok Diskusi Anti 86 melaporkan Gubernur Kepri Nurdin Basirun dan Bupati Bintan Apri Sujadi kepada KPK terkait pertambangan bauksit di Bintan. Terkait laporan tersebut, Edo mengatakan setiap warga negara berhak menggunakan hak hukumnya.
KLHK sendiri akan bekerja sama dengan pihak kepolisian, kejaksaan maupun KPK jika menemukan bukti-bukti kuat yang mengarah pada tindak pidana korupsi. Dalam kasus pertambangan di Bintan, KLHK berpeluang bekerja sama dengan salah satu pihak penegak hukum tersebut.
KLHK memiliki kewajiban untuk bekerja sama dengan kepolisian, kejaksanaan atau pun KPK dengan menyiapkan laporan kejadian terhadap fakta-fakta yang ditemukan. “Biasanya dibentuk tim terpadu,” katanya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Riau – Kepulauan Riau dorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera mengambil langkah hukum berupa menggugat secara perdata dan pidana perusahaan yang melakukan pertambanfan bauksit di Kabupaten Bintan.
Ketua WALHI Riau – Kepri Rico Kurniawan, yang dihubungi Antara di Bintan, Sabtu, mengatakan, kerusakan hutan dan lingkungan yang terjadi akibat pertambangan yang dilakukan sejumlah perusahaan yang memproduksi dan menjual bauksit, semakin parah.
Karena itu, kata dia hasil pengumpulan barang bukti dan keterangan yang dilakukan KLHK dapat dijadikan dasar untuk menggugat secara perdata dan pidana perusahaan-perusahaan tersebut, terutama PT Gunung Bintan Abadi (GBA) sebagai penerima manfaat dari aktivitas tambang bauksit ilegal yang dilakukan di pulau-pulau dan daratan Bintan.
“Kerusakan hutan dan lingkungan di Bintan akibat tambang bauksit sudah menggila. Harus dipertanggungjawabkan. Tentu tidak hanya pidana, melainkan perdata untuk memperbaiki lingkungan yang rusak,” ujarnya.
Rico mengemukakan pemerintah pusat harus memperhatikan permasalahan pertambangan di Bintan sebagai kasus yang utama yang harus diselesaikan. Langkah KLHK cukup baik, meski dinilai tidak terlalu cepat menangangi permasalahan yang terjadi hampir setahun tersebut.
KLHK diharapkan secepatnya membekukan ijin lingkungan PT GBA, yang memperoleh ijin ekspor bauksit seberat 1,6 juta ton bauksit dari pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus meninjau kembali ijin tambang bauksit yang diberikan kepada perusahaan yang membagi kuota ekspor itu kepada perusahaan lainnya.
Ia menegaskan proses perizinan tambang bauksit yang diberikan kepada PT GBA diduga menyalahi UU Minerba. Seharusnya, kata dia perusahaan itu memiliki “smelter” sehingga ada nilai produksi terhadap bauksit yang sudah dimurnikan. Sampai sekarang, kata dia belum diketahui di mana lokasi “smelter” yang dibangun perusahaan itu.
“Perusahaan itu pula seharusnya tidak membagi kuota ekspor bauksit kepada perusahaan lainnya. Karena ini yang menyebabkan terjadi praktik pertambangan yang melanggar peraturan,” tegasnya.
Rico mengatakan permasalahan pertambangan bauksit dari dahulu sampai sekarang tidak akan terjadi jika pemerintah mengaturnya dengan baik. Semestinya sumber daya alam itu memberi nilai tambah pada kesejahteraan masyarakat, daerah dan negara, bukan malah sebaliknya.
“Aktivitas tambang bauksit di Bintan tidak berdiri sendiri. Kami menduga ada peran besar gubernur dan oknum di jajarannya, oknum pemerintah pusat dan oknum di Pemkab Bintan,” katanya.