Jakarta, indomaritim.id – Lokasi museum ini ada di kota tua Jakarta yang eksotis dengan bangunan-bangunan tua berasitektur zaman kompeni Belanda. Berada di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, di Jalan Pasar Ikan No. 1, Penjaringan, Jakarta Utara, Museum Bahari menyimpan berbagai koleksi kebaharian bangsa Indonesia. Museum yang beroperasi mulai pukul 09.00-16.00 WIB setiap hari Selasa hingga Minggu itu seakan menegaskan realita Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di jagat raya dengan 17.499 pulau membentang di lautan seluas 5,8 juta kilometer persegi dan 2,01 juta kilometer persegi daratan.
Namanya juga museum. Di sana tersimpan berbagai bukti autentik kejayaan bahari bangsa Indonesia sebagai pelaut seperti dibunyikan lagu Ibu Sud: “Nenek Moyangku Orang Pelaut” dan sering dinyanyikan anak-anak yang sayangnya setelah mereka dewasa hanya sedikit berkarya di bidang kemaritiman. Begitu juga nasib Museum Bahari itu. Ada 19 perahu asli, 107 miniatur biota laut dan ratusan foto lawas tersimpan di sana, namun tidak banyak wisatawan lokal mengunjunginya. Justru turis mancanegara dengan dominasi orang Londo alias Belanda, sebelum pandemi, banyak hadir di sana. Mereka mungkin mau mengenang kejayaan kakek moyangnya mengarungi samudra untuk menjajah Nusantara selama 350 tahun.
Nah, di akhir minggu lalu ternyata ada pengunjung milenial Indonesia wira-wiri di museum itu. Tetapi, astaga! Mereka di sana hanya mejeng, selfie-selfie, foto pre-wedding atau membuat video clip konten media sosial, tanpa tertarik dengan koleksi di dalam museum. Tidak mengapa, setidaknya mereka tahu di sana ada museum dan pernah ke sana. Siapa tahu setelah itu muncul kesadaran untuk peduli pada dunia kemaritiman Indonesia.
Perjalanan hidup Museum Bahari juga laksana lautan: ada pasang surut dan badai di sana. Bangunan museum yang dulu merupakan gudang niaga Hindia Belanda, pada Januari 2018 terbakar hingga nyaris punah dari muka bumi. Gedung A dan B, Blok 1 dan Blok 2 luluh lantak dimangsa si jago merah, sekaligus menghanguskan sejarah para pelaut terkenal, miniatur perahu, serta alat-alat navigasi yang tidak ternilai harganya. Penyebab kebakaran: instalasi listrik sudah berusia tua, sehingga tidak mampu menanggung beban hidup yang sudah berat.
Kini, Pandemi COVID-19 mendera Museum Bahari. Meski harga tiket masuk relatif murah, hanya Rp 5.000 untuk umum; Rp 3.000 bagi mahasiswa, serta Rp 2.000 untuk anak-anak atau pelajar, namun pengunjung tidak ramai. Tapi, tunggu dulu. Masyarakat memang tidak boleh berkerumun demi menghindari si COVID. Jadi, kita tidak perlu berkecil hati, sebab kesehatan harus diutamakan.
Pandemi ternyata memberi dampak yang signifikan terhadap kehidupan museum. Dari survei yang dilakukan UNESCO, lebih dari 90.000 museum di dunia, 90 persen sudah tidak beroperasi selama pandemi. Tidak adanya pemasukan membuat beberapa museum harus tutup. Kalau pun buka, mereka harus menerapkan protokol kesehatan ketat seperti yang dilakukan Museum Bahari: melakukan penyemprotan disinfektan secara berkala, penyediakan hand sanitizer, dan menempatkan air pencuci tangan di sejumlah tempat strategis.
“Selama pandemi pengunjung mengalami penurunan, karena jumlahnya dibatasi, hanya 50 persen sesuai arahan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dalam sehari, jumlah pengunjung hanya sekitar 20 orang,” kata Firman Faturohman, Pemandu Museum Bahari yang juga founder Komunitas Rempah kepada reporter indomaritim.id.
Menerapkan protokol kesehatan bagi pengunjung museum bukanlah perkara mudah. Para petugas museum tanpa bosan harus memberikan informasi dan edukasi seputar protokol kesehatan kepada pengunjung. Meskipun sudah ada keterangan di depan pintu masuk, masih saja ada pengunjung yang bertanya-tanya. Petugas pun harus menjelaskan regulasi protokol kesehatan. Padahal, banyak poster di dekat loket pembelian berisi informasi tentang museum dan protokol kesehatan dengan harapan dibaca dan dipatuhi pengunjung. Tapi ya, begitulah, masih ada yang tidak mematuhinya, sehingga harus ditegur secara santun oleh petugas museum.
Saatnya Jadi Digital Museum
Pandemi COVID-19 membuat berbagai pihak harus kreatif untuk bertahan hidup dan beraktifitas secara sehat. Ibarat kapal yang sedang berlayar di tengah badai, museum harus bisa mengarungi amukan badai dan selamat tiba di tujuan. Untuk itu, kini Museum Bahari sedang berupaya move-on, menyesuaikan diri dengan gaya hidup generasi milenial. Museum Bahari mulai berbenah di segala aspek agar tetap eksis di tengah berbagai keterbatasan yang ada.
Namun, tidak ada kata terlambat. Dengarlah keluhan generasi milenial ini, Vini Chantiqa Salsabila, gadis manis tinggi semampai berusia 19 tahun yang dijumpai di Museum Bahari. “Sayang sekali, reservasi tiket belum online. Semoga ke depannya beralih ke digital. Hari gini masih analog?,” kata Vini yang bosan terkurung di rumah akibat pandemi dan ngampus dari rumah pakai Internet. Dia mengeluhkan tiket masuk Museum Bahari yang masih dijual di loket museum.
Merespon keluhan ala milenial seperti Vini itu, Pemerintah DKI Jakarta dan pihak museum ada baiknya segera memanfaatkan teknologi tiga dimensi untuk memamerkan koleksi Museum Bahari. Harapannya tidak lain agar lebih menarik perhatian pengunjung mulai dari orang dewasa, mahasiswa dan anak-anak.
Sudah seharusnya Museum Bahari menerapkan konsep digital sehingga pengunjung bisa melakukan virtual touring dari rumah. Teknologi digital memudahkan pengunjung untuk mendapatkan pelayanan dari upaya inovasi pihak museum. Tentu saja, bisa dimulai dari yang ringan lebih dulu seperti pemanfaatan kode QR untuk mengurangi penumpukan pengunjung. Mereka hanya perlu mengunduh aplikasi yang dapat membaca kode QR dan memindai kode yang telah disediakan pada setiap koleksi museum dengan wifi gratis dari pihak museum.
Virtual tour juga bisa dilakukan di Museum Bahari tanpa perlu pengunjung datang ke lokasi. Pengunjung bisa dengan mudah melihat koleksi museum asal terkoneksi dengan internet. Mereka tetap di rumah di dalam negeri maupun di mancanegara selama pandemi belum berakhir. Museum Bahari harus berinovasi ke jagat digital supaya tidak ditinggalkan wisatawan mengingat museum ini kaya dengan sejarah kemaritiman Indonesia.
Melalui virtual tour Museum Bahari juga bisa menyediakan berbagai penjelasan singkat yang bisa dibaca atau didengar oleh pengunjung. Meskipun museum ini luput dari perhatian para wisatawan lokal, tetapi masih banyak pecinta sejarah yang mengagumi keelokan museum ini. Kehadirannya tidak boleh terlupakan sebab di sana tersimpan kejayaan maritim di masa lampau.
Kabar gembiranya, dalam rangkaian International Museum Day, Museum Bahari sejak 18 Mei 2021 mengadakan pameran memorial Museum Bahari guna menjaring minat generasi muda mengunjungi museum. “Pameran memorial Museum Bahari diselenggarakan untuk mengingat kebakaran yang pernah terjadi di museum ini dan divisualisasikan untuk mitigasi, dan pembelajaran, supaya hal-hal yang tidak diinginkan itu tidak terjadi lagi,” kata Firman Faturohman.
Belanda Punya Cerita
Bangunan Museum Bahari pada masa penjajahan Belanda difungsikan sebagai gudang penyimpanan dan pengepakan rempah-rempah sebelum dikirim ke Eropa. Firma dagang Belanda, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menyimpan barang dagangan yang dia kumpulkan dari berbagai daerah. Koleksi berbagai rempah-rempah yang membuat Belanda bersedia menyambung nyawa di Nusantara tersebut, dapat dilihat di Museum Bahari dari pala, cengkeh, mahoni, kemukus, jahe dan lain-lainnya. Juga ada koleksi barang-barang lainnya yang tidak kalah menarik, seperti peralatan navigasi tempo dulu.
Gedung Museum Bahari terbagi menjadi dua yaitu Westzijdsche Pakhuizen (gudang sisi barat) dan Oostzijdsche Pakhuizen (gudang sisi timur). Bagian tertua museum dibangun pada masa Gubernur Christoffel van Swoll yang berkuasa di Batavia tahun 1713 sampai 1718. Beberapa gudang dibangun pada akhir abad ketujuh belas.
Ketika Belanda takluk kepada Jepang, dan selama periode pendudukan tentara Jepang yang kejam di Nusantara, 1942-1945, gedung-gedung tersebut digunakan sebagai gudang logistik tentara. Setelah Indonesia merdeka, gedung-gedung itu masih tetap setia pada fungsinya. Kali ini menjadi gudang perusahaan listik negara dan belakangan jadi gudang perusahaan telepon dan telekomunikasi. Baru pada 7 Juli 1977 “penderitaan” gudang itu berakhir: statusnya ditinggikan dan dimuliakan sebagai Museum Bahari.
Salah satu koleksi monumental Museum Bahari adalah menara Syahbandar yang berdiri kokoh di sana. Maklum, dulu Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan tersibuk sebelum perannya diambil alih oleh Pelabuhan Tanjung Priok. Selain itu ada berbagai model kapal milik Hindia Belanda beserta meriamnya. Museum Bahari juga mengoleksi berbagai model kapal dari berbagai kepulauan di Indonesia seperti, kapal Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya, serta kapal Borobudur. Beberapa model kapal pemancing ikan dari berbagai daerah di Indonesia juga menjadi koleksi, seperti dari Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, dan daerah-daerah lain di Indonesia.
Gedung Museum Bahari dan Menara Syahbandar ditetapkan sebagai bangunan bersejarah berdasarkan Undang-undang Monumen (Monumenten Ordonnatie 1931-Staatsblad No. 238 Tahun 1931) dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. CB. 11/1/12/72 tanggal 10 Januari 1972. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap perlindungan dan pelestarian bangunan tua dan bersejarah. Hal itu ditempuh untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas pentingnya sejarah nasional dan sejarah perkembangan kota Jakarta.
Sejak tahun 1993, Museum Bahari dan bangunan bersejarah lainnya di Jakarta ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 475 Tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-bangunan bersejarah sebagai upaya pelestarian terhadap bangunan-bangunan bersejarah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki perangkat untuk mengelola konservasi cagar budaya. Institusi itu berada di Dinas Kebudayaan dengan nama Pusat Konservasi Cagar Budaya.
Kepala Pusat Konservasi Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Linda Enriany, S.E., M.M., M.Si mengatakan, peran Pusat Konservasi Cagar Budaya adalah memberikan advice dalam sidang pemugaran untuk memastikan bagian-bagian dari sebuah gedung yang perlu diperbaiki dan bagian yang harus dipertahankan. “Untuk Museum Bahari, revitalisasi, perawatan cagar budaya dilakukan langsung oleh pengelola, kecuali untuk patung, Pusat Konservasi Cagar Budaya menanganinya secara langsung,” kata Linda. Lebih lanjut ia mengatakan, kendala konservasi cagar budaya di DKI Jakarta adalah minimnya tenaga konservator. Selain itu barang-barang dengan spesifikasi khusus dan persyaratan khusus adakalanya sulit ditemui di pasaran.
Museum Bahari dengan sosok bangunan yang khas itu kini tetap tegar berdiri di tempatnya berada sejak tahun tahun 1652. Dia menjadi saksi perjalanan bangsa Indonesia dengan segala suka dukanya. Kendati badannya pernah hangus terbakar, tetapi semangatnya sebagai simbol kejayaan maritim Indonesia tidak pernah luntur sampai kapan pun.
Reporter : Haresti Amrihani
Editor : Rajab Ritonga