Jakarta, indomaritim.id – Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo menyampaikan konsepsi negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi meniscayakan adanya penghormatan terhadap pengakuan normatif dan empirik atas prinsip-prinsip negara hukum. Antara lain supremasi hukum (supremacy of law), persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law), serta asas legalitas yaitu penegakan dan penerapan hukum, yang tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri (due process of law).
“Nyatanya merealisasikan gagasan ideal tentang implementasi dan manifestasi negara hukum, ternyata tidak semudah yang kita bayangkan. Penting disadari bahwa hukum tidak beroperasi dalam ruang hampa. Tetapi dipengaruhi oleh beragam dinamika, baik kehidupan sosial, situasi politik, kondisi ekonomi, bahkan lompatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujar Bamsoet saat menjadi pembicara Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali secara virtual dari Jakarta, pada Minggu, (24/12/23).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, hukum harus adaptif terhadap dinamika zaman dan laju peradaban. Karena bagaimana suatu norma hukum diinterpretasikan dan diterapkan pada hari ini, bisa jadi akan dimaknai berbeda pada 10 atau 20 tahun ke depan.
Dosen pascasarjana Universitas Pertahanan RI (UNHAN) ini menyamapikan, norma hukum yang dianggap ideal pada hari ini, bisa jadi dipandang memiliki banyak celah di masa depan, sehingga harus disesuaikan, direvisi, atau bahkan diganti.
“Proses pembaharuan hukum dapat dibentuk melalui lahirnya aturan-aturan baru, penerapan yurisprudensi atau penyesuaian terhadap dinamika zaman. Tentu, langkah-langkah ini pada akhirnya bermuara pada upaya untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah terjadinya kevakuman hukum, serta memperlancar proses hukum yang masih terkendala oleh berbagai tantangan dan hambatan,” kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini mencontohkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 meskipun telah dilakukan empat tahap perubahan terhadap UUD di era Reformasi, ternyata masih menyisakan persoalan-persoalan yang belum ada rujukan konstitusionalnya.
Persoalan-persoalan itu antara lain, bagaimanakah langkah konstitusional yang dapat ditempuh seandainya dalam keadaan tertentu muncul keadaan yang luar biasa dan berpotensi mengancam keutuhan bangsa dan negara. Sementara, UUD belum merumuskan dengan jelas untuk mengatasi keadaan itu.
Misalnya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan, seperti bencana alam yang dahsyat, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau krisis keuangan yang berkelanjutan dan melumpuhkan perekonomian. Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum dan bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, para anggota MPR, DPR, dan DPD, serta para menteri anggota kabinet telah habis masa jabatannya.
“Masalah-masalah seperti ini belum ada jalan keluar konstitusionalnya. Idealnya, UUD 1945 harus dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi berbagai persoalan dan kebuntuan ketatanegaraan. Sesuai amanat ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, maka MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar,” pungkas Bamsoet.