Banda Neira, Jejak Pengasingan Sang Proklamator Bung Hatta

oleh
Rumah Hatta di Banda Neira terletak di Jalan Hatta, kelurahan Dwiwarna, Kampung Ratu. Foto: Wikipedia
Rumah Hatta di Banda Neira terletak di Jalan Hatta, kelurahan Dwiwarna, Kampung Ratu. Foto: Wikipedia

Banda Neira, indomaritim.id – Banda Neira, pulau kecil yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, menyimpan jejak sejarah Indonesia, yakni rumah pengasingan Bung Hatta. Rumah Hatta terletak di Jalan Hatta, kelurahan Dwiwarna, Kampung Ratu. Searah dengan jalan menuju ke Benteng Belgica.

Berbeda dengan rumah pengasingan Sutan Syahrir atau Dr Tipto Mangunkusumo yang kerap terkunci, rumah Bung Hatta menjadi satu-satunya rumah bersejarah yang pintu-pintunya selalu terbuka, sehingga bebas dikunjungi sejak pukul delapan pagi hingga empat sore.

Gedungnya pun cukup terawat. Di dalam ruang tamu, sebuah kotak sumbangan teronggok di atas meja, berdampingan dengan buku tamu.

Memasuki Rumah Hatta, kelebat riwayat hidup Bapak Proklamator Indonesia ini pun bermunculan. Lahir pada 12 Agustus 1902 dengan nama Muhammad Atthar dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha di Bukittinggi, Hatta mendapat pendidikan yang baik dari keluarganya.

Hatta Muda, Pejuang Pembelajar

Selain ajaran Islam, Hatta mengenyam pendidikan formal di ELS (Europeesche Lagere School), lalu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), tempat dia bergabung di perkumpulan Jong Sumatranen Bond dan menjadi bendahara.

Hatta muda kemudian melanjutkan pendidikan ke Handels Hoge School Rotterdam, Belanda, pada 1921, lalu aktif di Indische Vereninging, cikal bakal Perhimpunan Indonesia, yang dipimpin trio Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusomo, dan Douwes Deker.

Setelah lulus ujian ekonomi perdagangan pada 1923, dia melanjutkan ke jurusan hukum negara dan hukum administratif, karena minatnya pada bidang politik. Hatta aktif di Perhimpunan Indonesia, bahkan menjadi pemimpin pada 1926, namun keluar pada 1932 karena tidak sepaham dengan kubu komunis yang memasuki partai ini.

Bung Hatta bersama pengurus Perhimpoenan Indonesia. Foto tahun 1925. Foto oleh Wikipedia
Bung Hatta bersama pengurus Perhimpoenan Indonesia. Foto tahun 1925. Foto oleh Wikipedia

Setelah lulus, Hatta kembali ke Jakarta pada 1932. Dia menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat, dan aktif berpolitik di Partai Pendidikan Nasional Indonesia.

Tulisannya yang keras memprotes penahanan dan pembuangan Soekarno ke Ende, membuat pemerintah kolonial Belanda menahan semua pemimpin Partai Pendidikan Nasional Indonesia dan membuang mereka ke Boven Digoel.

Hatta Dibuang ke Banda Neira

Hatta dan Sjahrir dipindahkan dari penjara alam nan ganas, Boven Digoel ke Banda Neira pada Februari 1936. Selain menjauhkan mereka dari kontak dengan dunia luar, juga demi kesehatan.

Keduanya sempat terkena malaria di Digul, Papua. Saat itu, malaria menjadi pembunuh nomer satu bagi tahanan politik yang ditahan di sana. Keganasan nyamuk pembawa penyakit Malaria, saat itu belum dapat ditangani dengan baik. Juga obat-obatan yang tak tersedia cukup untuk tawanan, menyebabkan banyak yang menghembuskan nafas terakhir karena malaria di Papua.

Pulau Banda menjadi tempat yang menyelamatkan Hatta dari keganasan rimba Papua. Keadaan alam pulau Banda bebeda jauh dengan Papua, tempat pengasingan mereka sebelumnya. Ketika tiba di Banda, mulanya Hatta dan Sjahrir menumpang pada keluarga Dr Tjipto Mangunkusumo.

Kemudian, Bung Hatta menyewa rumah milik perkenier De Vries. Kelak Bung Sjahrir tinggal terpisah dari Bung Hatta, setelah menyewa paviliun pada keluarga Baadillah yang menghadap ke Selat Sonnegat.

Dulu, Banda Neira memang dikenal sebagai tempat pembuangan tokoh pergerakan anti Belanda yang ideal. Sebelum datang Bung Hatta dan Bung Sjahrir, sudah ada beberapa tokoh lain seperti Mr Iwa Kusumantri, dr Tjipto, dan tokoh Syarikat Islam lainnya.

Mereka, para orang buangan ini, mendapat semacam tunjangan daripemerintah Belanda setiap bulannya. Kalau sudah berkeluarga akan mendapat 150 gulden sebulan, sedang yang hidup sendiri mendapat 75 gulden sebulan. Tentunya, uang sejumlah itu tak akan cukup sebagai biaya hidup mereka di Banda.

Namun, hidup di Banda saat itu sangat sederhana, hanya butuh membeli beras dan pakaian. Tunjangan Bung Hatta dan Bung Sjahrir lebih kerap digunakan untuk membantu penduduk sekitar. Masyarakat Banda yang menyambut baik, membuat Hatta merasa nyaman tinggal disana.

Tak hanya masyarakat yang ramah, pantai pulau Banda yang berpasir putih, hembusan angin laut, dan deretan pohon kelapa menjadi pemandangan berbeda dengan Digoel. Digoel di Papua adalah penjara alam yang ganas, dengan rawa-rawa dihuni buaya ganas dan nyamuk pembawa bibit penyakit malaria.

Berbeda dengan Digoel, Hatta merasa Banda Neira adalah persinggahan yang nyaman. Buah kenyamanan hidup di Banda ini bisa dilihat saat mengelilingi ruang demi ruang di Rumah Hatta yang cukup luas dan tertata apik. Pada sebuah meja, tergeletak mesin ketik tua milik Bung Hatta berdampingan dengan kertas bergambar foto Bung Hatta di kanannya.

Pastilah Bung Hatta menghabiskan banyak waktunya dengan mengetik, menulis pokok-pokok pikirannya tentang kemerdekaan. Disana, ia memiliki banyak waktu untuk membaca beratus-ratus buku yang dibawa. Tak hanya membaca, Hatta memadukan berbagai pengetahuan yang dipelajarinya dari buku menjadi artikel dan buku baru.

Meja tulis Bung Hatta di Banda Neira. Foto: Istimewa
Meja tulis Bung Hatta di Banda Neira. Foto: Istimewa

Bahkan tidak mungkin, di meja ini Bung Hatta menuliskan puluhan artikel dan buku yang kemudian diterbitkan di Jawa dan Belanda.

Ketika dalam pembuangan, Bung Hatta kerap mendapat penghasilan tambahan dari menulis. Namun penghasilan tambahannya ini digunakannya untuk membantu tahanan politik lainnya yang kurang beruntung. Jiwa sosial Bung Hatta dan Bung Sjahrir sangatlah tinggi.

Di samping meja ketik, ada almari tua yang dipenuhi foto-foto Bung Hatta dan keluarganya. Tak selalu berisi foto saat mereka ketika tinggal di Neira. Bisa juga foto yang diambil di lain tempat.

Dalam foto-foto tersebut Bung Hatta dan istrinya tampak gembira, bahagia, dan tertawa, walau hidup tertekan di pembuangan.

Ada lagi ruangan mirip ruang tamu dengan meja dan kursi-kursi kuno yang masih utuh. Juga sebuah ruang tidur, yang dilengkapi kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk. Betul-betul seperti rumah orang berada jaman dulu. Lengkap. Ada ruang tamu, ruang tidur, ruang kerja, atau ruang makan.

Di beranda belakang, sederetan kursi tertata apik. Mungkin dulu menjadi tempat Bung Hatta dan keluarganya bersantai, berjemur sambil menyongsong pagi, atau sambil membaca buku. Kursi malasnya terlihat nyaman, terbuat dari kayu dan rotan yang kuat.

Sekolah Sore Bung Hatta

Berseberangan dengan deretan kursi berjemur, dibatasi oleh taman kecil dan rumput teratur, adalah sekolah yang Bung Hatta dan Bung Sjahrir dirikan dulu. Enam bangku berjajar dua, menghadap ke papan tulis, yang bertuliskan ‘Sedjarah perdjoeangan Indonesia setelah Soempah Pemoeda di Batavia tahoen 1928’.

Dalam buku ‘Bersama Hatta dan Sjahrir di Banda Naira’, Des Alwi mengisahkan bagaimana sekolah sore ini didirikan Bung Hatta dan Bung Sjahrir.

“Setelah akrab dengan beberapa keluarga di Banda, Oom Hatta dan Oom Sjahrir menyelenggarakan sebuah sekolah yang dilaksanakan pada sore hari dengan tidak memungut bayaran bagi anak-anak Banda Naira yang tidak bersekolah,” ulas Des Alwi, sejarahwan asal Banda Neira ini.

“Murid-murid sekolah sore adalah penduduk yang secara ekonomi kurang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah yang ada. Di antara merekadalah para cucu Said Baadilla serta Donald dan Louis; anak angkat Dr Tjipto Mangunkusumo. Juga ada anak-anak seorang mantan nakhoda schooner mutiara yang kawin lari dengan seorang gadis dari Darwin, Australia, dan kemudian hidup bahagia bersama gadis itu di Naira; serta beberapa anak Banda yang tidak berpeluang melanjutkan pendidikan mereka di Ambon, Makasar atau Jawa,” lanjutnya.

Sekolah sore Bung Hatta di Banda Neira. Foto: Istimewa
Sekolah sore Bung Hatta di Banda Neira. Foto: Istimewa

Hatta sangat menyayangi murid-muridnya di sekolah sore. Ia sangat akrab dengan mereka. Tak segan, Hatta meminta mereka mengajarinya berenang di pantai Banda yang bersih dan jernih. Hatta juga tak ragu meminta mereka naik ke pohon kelapa, memetika buah kelapa muda untuk mereka minum bersama.

Murid di sekolah sore ini dibagi menjadi dua kelas. Kelas yang berisi anak yang lebih muda usia, diajar oleh Bung Sjahrir. Sementara kelas di atasnya diajar Bung Hatta. Papan tulis menjadi pemisah kelas itu.  Keduanya mengajarkan bahasa Belanda, aljabar, sejarah nusantara dan dunia, juga pengetahuan umum lainnya.

Memandang meja, bangku, dan papan tulis itu, kita akan menyadari betapa besar pengorbanan Bung Hatta, Bung Sjahrir maupun pemimpin bangsa lainnya di pembuangan.

Walau gerakannya dibatasi dan jauh dari kampung halaman, mereka terus berusaha berguna bagi masyarakat di sekelilingnya. Mereka begitu peduli kepada jelata yang tak mendapat pendidikan yang layak.

Di atas papan tulis lagi-lagi berjajar empat foto Bung Hatta. Di rumah pengasingan ini, tak ditemui sebuah pun buku Bung Hatta. Hanya foto dan perabot. Padahal ketika dijemput mendadak oleh Catalina Belanda pada suatu subuh 1 Februari 1942, Bung Hatta sempat mengemasi koleksi buku-bukunya dalam 16 peti.

Sayang, kemudian buku-buku ini ditinggalkan agar ketiga anak angkat Bung Sjahrir bisa ikut terbang karena tempat dalam pesawat terbatas. Itulah hal yang sangat disesali Bung Hatta.

Kecintaannya kepada buku dan pengetahuan, membuatnya banyak menyumbangkan pemikirannya untuk kemerdekaan Indonesia. Ketika Indonesia sudah merdeka, dia membangun ekonomi bangsa agar berdaulat.

Hatta dan Gerakan Koperasi

Saat tak lagi menjabat sebagai wakil presiden, Hatta lebih banyak memberikan ceramah di berbagai universitas dan menuliskan buah pikirannya dalam bentuk artikel dan buku. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi.

Hatta memiliki keyakinan, koperasi akan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Ia yakin, koperasi sejalan dengan Pancasila, khususnya keadilan sosial yang menyeluruh bagi bangsa Indonesia.

Kegigihan Hatta mengembangan koperasi tak perlu diragukan lagi. Karena itu, pada 17 Juli 1953 Muhammad Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung.

Pikiran-pikirannya mengenai koperasi, dituangkannya dalam buku berjudul ‘Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun’ yang terbit pada tahun 1971.

Banda Neira adalah saksi jejak langkah Hatta. Kini, berselang 77 tahun sejak terakhir meninggalkan Banda, warisan sejarah rumah pembuangannya masih tetap bersih terpelihara.

Putra angkat Hatta di pulau Banda, Des Alwi turut merasakan buah pendidikan Hatta. Des Alwi, mencapai posisi Menteri Pariwisata setelah sebelumnya menjadi Kepala Rumah Tangga Presiden Republik Indonesia. Des Alwi juga menjadi sejarahwan yang mencurakan pikiran dan perhatiannya tentang kiprah Bung Hatta untuk Indonesia.

Nama Hatta sendiri, diabadikan sebagai bandara udara internsional Indonesia, disematkan sebagai nama universitas dan menjadi nama jalan di sejumlah kota Indonesia. Wajah Hatta bersama Soekarno, juga tercetak pada lembaran mata uang Rupiah bernominal tertinggi.

Bahkan setelah Hatta meninggal, namanya tetap abadi terus disebut oleh dunia.

Reporter: Mulyono Sri Hutomo
Editor: 
Rajab Ritonga