Jakarta, indomaritim.id – Kementerian Perindustrian berupaya untuk membangkitkan kembali kejayaan industri keramik nasional seperti pada tahun 2014 sebagai produsen nomor empat di dunia. Target ini perlu ditopang dengan kebijakan strategis, di antaranya melalui program substitusi impor 35 persen pada tahun 2022.
“Implementasinya didukung dengan kebijakan pengendalian tata niaga impor keramik dan pembatasan pelabuhan masuk (bongkar) di wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Selain itu, kebijakan minimum import price (MIP) untuk ubin keramik serta pemberlakuan SNI wajib yang diperketat,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Senin (25/1/2021).
Menperin menegaskan, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (ASAKI) guna mencari solusi agar industri keramik nasional bisa lebih berdaya saing di kancah global.
“Mereka optimistis industri keramik bisa kembali jaya apabila mendapatkan dukungan dan atensi dari pemerintah. Asaki pun mendukung misi besar Kemenperin untuk substitusi impor,” tuturnya.
Agus menyampaikan, adanya penurunan harga gas tertentu bagi sektor manufaktur, dinilai membawa peluang untuk rebound di industri keramik selaku sektor yang menerima manfaat insentif tersebut.
“Adapun, utilisasi industri keramik pada tahun 2020 secara akumulatif mencapai 56 persen,” ungkapnya.
Tahun lalu, wabah pandemi Covid-19 menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan industri, termasuk sektor keramik. Utilisasi industri keramik sempat menurun menjadi 30 persen pada kuartal II-2020, namun mulai beranjak naik hingga 60 persen di kuartal III. Peningkatan ini tidak terlepas peran dari implementasi kebijakan harga gas industri sebesar USD6 per MMBTU.
“Utilisasi kembali kepada kondisi normal dengan mencapai 70 persen saat kuartal IV-2020. Selain itu, dampak penurunan harga gas untuk industri keramik, berhasil membuat volume ekspor meningkat 29 persen di kuartal III-2020 dibandingkan periode yang sama pada tahun 2019,” paparnya.
Menteri Agus Gumiwang menyatakan, pihaknya bertekad memacu produktivitas dan daya saing industri keramik di tanah air. Sebab, sektor ini mempunyai potensi dan peluang yang besar untuk dikembangkan di dalam negeri, seiring dengan ketersediaan sumber daya alam yang dijadikan bahan baku, tersebar di sejumlah daerah.
“Secara kapasitas dan kemampuan, industri keramik kita telah mampu memenuhi kebutuhan nasional. Namun, kami juga terus mendorong pemanfaatan teknologi modern guna menciptakan produk yang inovatif dan kompetitif,” imbuhnya.
Kemenperin mencatat, hingga saat ini kekuatan industri ubin keramik di Indonesia ditopang sebanyak 37 perusahaan yang tersebar di Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Total kapasitas produksi terpasang sebesar 537 juta m2 (8,14 juta ton) per tahun yang menyerap tenaga kerja hingga 150 ribu orang.
Ketua Umum ASAKI Edy Suyanto mengemukakan, untuk mempertahankan momentum pemulihan dan kebangkitan industri keramik pasca-penurunan harga gas, pihaknya mendesak langkah-langkah konkret dalam upaya penguatan daya saing. Misalnya, pembatasan pelabuhan impor tertentu dan penetapan minimum import price.
“Industri keramik nasional harus mendapatkan atensi khusus, terlebih sebagai industri strategis yang menyerap jumlah tenaga kerja cukup besar dan TKDN yang tinggi dengan rata-rata di atas 75 persen,” ujarnya.
Saat ini, jumlah anggota ASAKI mencapai 71 perusahaan yang terdiri dari industri ubin keramik, keramik tableware, saniter, genteng (roof tile), dan industri pendukung lainnya. “Tahun 2021, kami memproyeksi utilisasi kapasitas produksi berkisar di level 74-75 persen, meningkat dibanding tahun 2020 yang sebesar 56 persen dan tahun 2019 sebesar 65 persen,” tandasnya.