Rajab Ritonga
Pemimpin Redaksi Indomaritim.id
Musibah yang dialami kapal selam KRI Nanggala-402 membuat hati sedih dan mata berair, membayangkan ketabahan hati 53 prajurit Hiu Kencana menjalani detik-detik terakhir habisnya oksigen di perut kapal itu, Sabtu 24 April 2021 dinihari pukul 03.00 WIB. Mereka pergi dalam senyap memenuhi panggilan tugas dengan tabah sampai akhir, sesuai motto satuan kapal selam.
Seperti apa kehidupan di kapal selam? Tahun 1996 sebagai wartawan Antara yang meliputi kegiatan TNI Angkatan Laut, saya ditugaskan onboard, berlayar dengan kembaran KRI Nanggala, yakni KRI Cakra-401. Di kapal itu saya berada selama 36 jam: berlayar di permukaan, menyelam, dan timbul kembali ke permukaan air, sehingga bisa merasakan getar kehidupan anak buah kapal.
Pada 6 September 1996, pagi-pagi sekitar pukul 6.00 WIB, saya sudah berada di perut KRI Cakra, menyaksikan anak buah kapal (ABK) menyiapkan kapal yang akan berlayar dan bertempur. Kesibukan semakin intens ketika satu persatu pejabat Satuan Kapal Selam Komando Armada RI Kawasan Timur (kini Komando Armada II) memasuki kapal. Ruang komando yang sempit dalam sekejap penuh dengan perwira. Apa misi kali ini? Kapal selam tipe U-209 buatan Jerman itu baru selesai menjalani overhaul. Kepala Staf TNI AL (saat itu) Laksamana TNI Arief Kushariadi dijadwalkan menginspeksi kapal sebelum mengikuti latihan gabungan ABRI di Laut Cina Selatan.
KRI Cakra-401 masuk dalam rumpun kelas 209/1300. Kapal itu buatan Howaldtswerke, Kiel, Jerman dan mulai aktif di Armada RI tahun 1981 bersama adik kandungnya, KRI Nanggala-402. Kedua kapal itu dibangun tahun 1977 dan selesai 1981. Selain KRI Cakra dan KRI Nanggala, TNI AL memiliki kapal selam kelas Chang Bogo: KRI Nagapasa-403, KRI Ardadedali-404, dan KRI Alugoro-405.
Kapal selam kelas Cakra memiliki Panjang 60 meter dan lebar enam meter. Kapal ini dirancang untuk menghancurkan kapal musuh secara senyap dari dalam lautan. Kebisingannya yang rendah, karena bergerak menggunakan tenaga baterei, membuat kapal itu ditakuti lawan, karena keberadaannya sulit dideteksi. Dengan berat 1200 ton kapal ini berkeliaran dengan kecepatan 21 knot (saat menyelam) untuk memburu kapal musuh. Bila berlayar di permukaan air, kecepatannya mencapai 11 knot perjam.
Menjadi pelaut di kapal selam sangat berbeda dengan pelaut kapal atas air. Pelaut kapal selam harus bisa hidup di ruang sempit dan mampu mengelola stress. Pasalnya, mereka hidup berbulan-bulan dengan suasana seperti itu. Hidup di ruang sempit dengan ancaman badai saat berada di kedalaman merupakan kehidupan sehari-hari pelaut kapal selam.
Manusia merupakan mahluk daratan. Sebagai manusia darat, pelaut justru hidup di lautan. Itu sebabnya mereka merupakan orang-orang pilihan dengan kualifikasi tertentu. Motto pelaut kapal selam menegaskannya: “Tabah Sampai Akhir”. Hidup di laut sangat berbeda dengan hidup di daratan. Apalagi hidup di dalam air laut, jadi harus tabah menjalani kehidupan. Kenapa? Kondisi laut tidak selalu bersahabat. Cuaca buruk setiap saat bisa terjadi. Di laut tidak ada tempat yang enak. Apalagi kalau sampai kapal tenggelam digulung badai, terbakar, atau tabrakan. Hanya ada dua pilihan, bertahan hidup atau tenggelam ditelan lautan.
Berlayar dalam cuaca buruk pasti tidak nyaman. Kapal berukuran besar pun tidak bisa mengelak, digoyang ombak, membuat barang-barang terlempar dari tempatnya. Kalau sudah ada aba-aba: “Peran cuaca buruk… peran cuaca buruk. Ikat barang-barang bergerak” maka itu adalah tanda kapal segera menyongsong ombak besar di haluan. Bila berlayar dalam cuaca buruk, maka badan pun bisa terhempas menghantam apa saja yang ada di dekatnya. Meskipun barang-barang sudah diikat, namun tetap ada yang terlempar, berserakan di lantai. Hal seperti itu juga bisa menimpa kapal selam saat berada di kedalaman. Kalau sudah begitu, awak kapal selam hanya bisa makan makanan kering.
Mandi di kapal selam tidak bisa leluasa. Awak kapal berhari-hari tidak mandi. Kapal hanya membawa 15.000 liter air bersih untuk sebulan pelayaran. Air itu digunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan peturasan. Meskipun air bisa digunakan untuk mandi, namun ABK memilih tidak menggunakannya demi menghemat air bersih. Tidur di kapal selam harus bergantian, karena tempat tidur terbatas. Kapal selam kelas Cakra memiliki ABK 36 orang, namun bisa diawaki hingga 49 orang, bahkan 53 orang seperti KRI Nanggala karena ada personil onboard untuk memantau hasil pelaksanaan latihan penembakan torpedo yang akan dilakukan.
ABK mengoperasikan kapal 24 jam sehingga mereka tidur bergantian setiap empat jam, usai pergantian tugas jaga yang berlangsung setiap empat jam sekali. Awak kapal selam tidak bisa memilih harus tidur di siang hari atau di malam hari, karena tergantung shift jaga mereka. Tempat tidurnya berukuran 170 x 50 cm, menempel di dinding kapal. Dengan tempat tidur seperti itu, tentu jauh dari nyaman. Belum lagi, saat tidur terbentur ke dinding kapal akibat cuaca buruk. Jangan bayangkan bisa tidur nyaman seperti di rumah dengan tempat tidur luas dan kasur empuk.
Bila sedang tidak bertugas di siang hari dan kapal sedang tidak menyelam, awak kapal diijinkan bergiliran naik ke menara untuk menghirup udara segar ataupun merokok. Saat-saat seperti itu merupakan suatu kemewahan, sebab merokok tidak diperkenankan di dalam perut kapal baik saat berlayar di permukaan maupun ketika menyelam. Namun, kemewahan nongkrong di menara hanya berlaku bila lautan sedang bersahabat. Bila cuaca buruk, apalagi terkena badai, maka awak kapal tidak bisa berada di menara, semuanya masuk ke dalam perut kapal.
****
KRI Cakra sudah meningalkan alur pelabuhan Surabaya dan kini berada di Laut Jawa menuju titik rendezvous, menjemput Kasal yang onboard di korvet KRI Ki Hajar Dewantara-364. Sepanjang pelayaran di alur pelabuhan, kapal berlayar di atas permukaan dan menerima banyak penghormatan dari kapal-kapal niaga yang berpapasan dengannya dengan cara menurunkan setengah tiang bendera Merah Putih di buritan mereka.
Saya mulai bosan di perut kapal, meskipun sudah berkali-kali meneropong lautan menggunakan periskop, lalu memilih naik ke menara. Pemandangan di luar sudah berbeda dibanding saat berlayar di alur pelabuhan Tanjung Perak. Kini, sejauh mata memandang yang terlihat hanya lautan. Untuk menahan terik matahari, kelasi yang bertugas di sana mengembangkan sebuah tenda terpal. Di bawah tenda coklat itulah saya menikmati pelayaran di Laut Jawa yang ketika itu seperti cermin raksasa: tanpa ada ombak menggoyang kapal.
KRI Cakra sudah berlayar delapan jam saat rendezvous dengan korvet KRI Ki Hajar Dewantara-364. Saya pun sudah mengenakan seragam awak kapal selam yang diberikan: kaos biru tanpa kerah dilengkapi baret navy blue. Seragam dan baret itu dikenakan agar saya menjadi “ABK lokal” saat Kepala Staf TNI AL, Laksamana Arief Kushariadi tiba.
Saya beruntung menjadi “ABK kehormatan”. Mengenakan seragam dan baret kapal selam adalah peristiwa langka. Hanya sedikit wartawan Indonesia yang mendapat kesempatan seperti itu. Dalam pelayaran itu, saya disetarakan sebagai perwira pertama sebagaimana tertera dalam surat perintah berlayar.
Untuk sampai ke sana, saya harus menjalani security clearance di Dinas Pengamanan TNI AL (Dispamal). Mengapa perlu security clearance? Ijin memasuki kapal selam diperlukan sebab kapal selam adalah arsenal yang harus dirahasiakan keberadaannya. Meski TNI AL ketika itu hanya memiliki dua kapal selam, namun sudah cukup untuk menumbuhkan rasa gentar negara-negara kawasan. Apalagi saat itu hanya TNI AL yang memiliki kapal selam. Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam baru belakangan mengoperasikannya, sementara negara-negara lainnya di Asia Tenggara tidak mempunyai kapal selam.
Setelah dinyatakan “bersih”, saya diijinkan mengikuti pelayaran. Surat Perintah Berlayar dari Dinas Penerangan TNI AL (Dispenal) dikeluarkan untuk saya. Saya berangkat berangkat ke Surabaya pada H-1 pelayaran menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Dalam penerbangan menuju markas kapal selam itu saya merasa takjub: sekarang terbang menjelajah udara, besok berada di dalam lautan! Begitulah panggung depan wartawan, penuh dengan warna-warni kehidupan.
****
Kapal selam bersifat senyap saat menyerang. Dia mendatangi kapal musuh secara diam-diam dengan kecepatan tiga sampai empat knot, kemudian menenggelamkannya dengan torpedo maupun peluru kendali. Banyak kapal ukuran besar karam diterjang torpedo kapal selam. Penjelajah Argentina berbobot 13.645 ton, ARA General Belgrano, tersungkur ke dasar Samudra Atlantik terkena torpedo kapal selam nuklir Inggris, HMS Conqueror dari jarak 2000 yard (183 meter) pada Perang Malvinas tahun 1982.
Kapal dengan 1.000 ABK itu tidak berdaya menghadapi Conqueror meskipun dikawal dua kapal perusak. Pengawalnya memburu posisi Conqueror, namun kapal selam itu sudah menghilang di kedalaman samudera. Akibat peristiwa itu, kapal induk Argentina ARA Veinticinco de Mayo (eks kapal induk Belanda, HNLMS Karel Doorman yang penah menjadi target kapal selam TNI AL dalam operasi pembesan Irian Barat tahun 60-an) tidak keluar dari pangkalan demi menghindari kapal selam Inggris.
Pada Perang Dunia II, kapal selam Jerman juga merepotkan Sekutu. Pangkalan Inggris di Scapa Flow yang konon mustahil ditembus, ternyata bisa disatroni kapal selam Jerman. Battleship HMS Royal Oak dengan bobot 30.000 ton, jadi korban torpedo. Kapal itu terbakar hebat sebelum tenggelam. Kapal-kapal Sekutu baik kapal perang maupun kapal niaga banyak yang karam dimangsa kapal selam Jerman. Tercatat 64,5 persen kapal transport karam karena ulah kapal selam dibandingkan dengan 15,5 persen akibat serangan udara, dan hanya 6,6 persen disebabkan oleh meriam kapal atas air.
Angka itu semakin mencengangkan pada Perang Dunia I, sebanyak 87,2 persen kapal transport menjadi korban kapal selam, dan hanya 4,4 persen karam disebabkan oleh kapal atas air. Itu sebabnya, kapal selam sangat ditakuti. Berbagai cara dilakukan untuk mendeteksi kapal selam yang bergerak bagaikan hantu laut. Sebaliknya, bila posisi kapal selam terdeteksi, maka dia berada dalam posisi rawan. Kapal atas air akan menghancurkannya menggunakan bom bawah laut maupun torpedo bawah air.
Menyelam di Laut Jawa
Laksamana Arief Kushariadi dengan perawakan tegap, tinggi besar, sudah berada di kapal setelah pindah dari KRI Ki Hajar Dewantara menggunakan perahu karet. Komandan KRI Cakra, Letkol Laut (P) Pramono Hadi memerintahan ABK menutup pintu menara. Tidak lama kemudian terdengar aba-aba: “Siap menyelam!” yang dikumandangkan melalui pelantang kapal. Seluruh awak kapal pun menirukan perintah itu secara serentak: “Siap menyelam!”.
Kemudian terdengar suara susulan: “Kapal menyelam”. Suara dari pelantang itu diikuti oleh seluruh awak kapal: “Kapal menyelam”. Ketika kapal mulai menyelam, posisi kedalaman lantas diumumkan, dan selalu diikuti serentak oleh semua ABK. “Lima meter!”. “Sepuluh meter!” “Lima belas meter”, “Duapuluh meter”, demikian seterusnya. Dengan demikian, seluruh ABK selalu mengetahui kedalaman kapal di dalam laut.
Kapal ini mampu menyelam hingga kedalaman 500 meter. Laut sedalam itu ada di perairan Indonesia timur, bahkan Laut Banda kedalamannya mencapai 7000 meter, sedangkan di perairan barat, tidak ada laut dalam. Kapal selam memerlukan laut yang dalam untuk bertempur. Kedalaman ideal untuk melepaskan torpedo ada pada kisaran 200 hingga 300 meter dari dalam laut. Namun, dalam pelayaran kali ini kami hanya menyelam sampai 30 meter di Laut Jawa yang dangkal. Pada posisi kedalaman yang tetap, KRI Cakra berlayar mengarah ke Laut China Selatan dikawal KRI Ki Hajar Dewantara di atas permukaan laut.
****
Kini saya betul-betul sedang berada di dalam laut, tepatnya di Laut Jawa antara Semarang dan Jakarta! Sebuah peristiwa yang tidak pernah saya peroleh sebelumnya. Saya sudah berkali-kali berlayar dengan berbagai jenis kapal atas air, namun baru kali ini saya merasakan pengalaman berlayar di dalam laut.
Dalam pelayaran itu saya menyaksikan kesibukan awak kapal mengolah dan mengoperasikan kapal. Laksamana Arief yang dikenal teliti dan sangat disiplin dengan cermat mengawasi operasional kapal. Komandan Satuan Kapal Selam, Kolonel Laut (P) Marisi Panggabean bersama Komandan KRI Cakra, Letkol Laut (P) Pramono Hadi setiap saat memberi laporan kepada Laksamana Arief.
Saat berlayar di dalam air, tidak ada goyangan ombak. Kapal berlayar tenang, tanpa suara hiruk pikuk “tut…tut…tut” sebagaimana ingatan saya saat menonton film seri TVRI di tahun 1970-an: Voyage to the Bottom of the Sea yang jadi film kegemaran saya di waktu kecil.
Saya masih dalam suasana takjub, ketika terdengar perintah: “Peran Peninggalan… peran peninggalan…” Suara dari pelantang itu adalah perintah latihan peninggalan kapal, untuk melatih ketrampilan pelaut bila terjadi situasi darurat. ABK memang selalu berlatih untuk mengasah keterampilan agar selalu siap setiap saat bila harus meninggalkan kapal.
Dengan dipandu ABK saya pun mengikuti peran itu. Kami harus berjalan berbaris sambil meraih selang oksigen (octopus) yang terulur dari langit-langit kapal. Setelah memerankan cara menghirup oksigen dari octopus, barisan terus bergerak menggapai octopus berikutnya. Begitu seterusnya hingga sampai ke titik kumpul evakuasi yang telah ditentukan.
Saya sudah memiliki brevet selam dasar TNI AL, sehingga menghirup udara dari selang octopus bukan hal yang baru. Saya tidak mengalami kesulitan menggunakannya. Modal utama dalam latihan itu adalah ketenangan diri, dan mengikuti semua perintah dengan seksama. Lebih dari itu, ini hanya latihan kering, bukan latihan yang sesungguhnya: berlatih meninggalkan kapal yang sedang karam.
Ketika pengumuman “peran peninggalan selesai”, saya kembali ke ruang torpedo di Haluan kapal, tempat satu-satunya tempat yang agak lapang. Ruangan itu juga tempat makan ABK sekaligus tempat tidur dengan melipat meja makan. Ruang sempit itu dipenuhi delapan tabung torpedo dengan enam torpedo cadangan.
Di sana saya menerung, memikirkan probabilitas kemungkinan selamat bila benar-benar terjadi keadaan darurat dan harus meninggalkan kapal. Peluang selamat, bisa jadi sangat kecil saat meninggalkan kapal dari kedalaman laut tanpa tabung Scuba. Tekanan udara antara tubuh ketika meninggalkan kapal dengan tekanan air laut saat di luar kapal tentu berbeda. Perbedaan itu tergantung pada kedalaman saat meninggalkan kapal. Semakin dalam posisi kapal, maka tekanan yang diterima tubuh akan semakin besar. Bila escape dari kedalaman 100 meter secara teoritis organ-organ di dalam tubuh sudah pecah berantakan beberapa saat setelah keluar dari kapal selam.
Kalau sudah begitu, kecil kemungkinan bisa selamat hidup-hidup. Di situ saya bisa memahami makna motto Satuan Kapal Selam: “Tabah Sampai Akhir”. Motto itu bukan sekedar kata-kata indah nan puitis, tetapi benar-benar menggambarkan ketabahan hati dan kebesaran jiwa para pelaut kapal selam dalam menjalankan tugasnya.
Meskipun begitu, pasukan katak dan juga prajurit marinir berkali-kali mampu melakukannya, keluar dari kapal selam yang sedang menyelam untuk disusupkan ke pantai musuh. Mereka keluar dari tabung torpedo setelah tekanan air di dalam tabung torpedo disamakan dengan tekanan air di luar kapal. Mereka sungguh prajurit pemberani bermental baja.
****
Lamunan saya dibuyarkan pengumuman dari pusat komando. Kali ini berisi pemberitahuan kapal bersiap menuju permukaan. Seperti saat menyelam, ketika mau timbul, posisi kapal juga diketahui seluruh awak. Tidak seperti pesawat terbang yang turun dari ketinggian, timbul rasa tidak enak di telinga (karena perbedaan tekanan udara). Di kapal selam tidak ditemui rasa seperti itu. Semua terasa normal, bahkan tidak terasa kapal sudah berada di permukaan air.
Ketika kapal berhenti, Laksamana Arief bersiap meninggalkan kapal. Saya dan rombongan para perwira lainnya ikut di belakang. Kami meninggalkan KRI Cakra menggunakan perahu karet menuju ke KRI Ki Hajar Dewantara yang lego jangkar tidak jauh dari KRI Cakra. Setiba di sana, Laksamana Arief langsung menuju Helikopter Bolkow-105 yang stand-by di buritan. Tidak lama kemudian, orang nomor satu di jajaran TNI AL itu mengudara kembali ke Jakarta.
Saya tetap onboard di KRI Ki Hajar Dewantara, kapal latih perang laut bagi taruna Akademi Angkatan Laut. Kapal ini berjasa saat melakukan intersep, mengusir kapal Portugal, Lusitania Expresso yang nekat berlayar ke Dili, 11 Mei 1992 membawa demonstran anti Indonesia.
Setelah Kasal mengudara, korvet dengan dua anjungan itu menaikkan jangkarnya, dan mulai bergerak perlahan. KRI Cakra-401 saya lihat sudah menghilang dari permukaan, masuk ke dalam laut meneruskan pelayarannya ke Laut Cina Selatan, meninggalkan KRI Ki Hajar yang berlayar menuju Tanjung Priok.
Saya menghabiskan 24 jam yang lain di KRI Ki Hajar Dewantara. Keesokan harinya, saya mendarat di Pangkalan Komando Lintas Laut Militer di Tanjung Priok, mengakhiri pelayaran luar biasa ini meski tidak mengalami pertempuran sebagaimana dikumandangkan saat hendak berlayar: “Persiapan kapal berlayar dan bertempur”. Pertempurannya sesungguhnya tentu diperankan oleh ABK Cakra di Laut Natuna dalam latihan gabungan sebagaimana telah dijadwalkan.