Kapal perang KRI Fatahillah-361 menyimpan kenangan bagi Kepala Staf TNI Angkatan Laut periode 2012 – 2015, Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio. Di KRI Fatahillah-361, darahnya tumpah dan nyaris kaki kirinya diamputasi.
Sebagai lulusan terbaik Akademi Angkatan Laut, yang saat itu bernama Akabri Bagian Laut, Letnan Dua Laut (P) Marsetio ditempatkan di kapal perang canggih KRI Fatahillah-361. Pada tahun 1980-an, kapal itu merupakan kapal perang termodern yang dimiliki Indonesia. KRI Fatahillah-361 dibangun di galangan kapal Belanda, dibeli pemerintah Indonesia dan digunakan TNI AL dalam kondisi baru 100 persen. Sampai kemudian, terjadi peristiwa naas yang nyaris membuat karirnya tamat di geladak KRI Fatahillah-361.
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari Musibah di KRI Fatahillah-361 bagian ke-1. Anda dapat membaca kisah sebelumnya dengan mengeklik tulisan Bersimbah Darah di Geladak KRI Fatahillah-361
Evakuasi medis berlangsung cepat. Dengan kecepatan tinggi, kapal Bea Cukai melesat menuju Tanjungpinang menembus ombak yang juga belum reda. Kapal berkejaran waktu untuk menyelamatkan para awak kapal yang terluka. Meski begitu, nyawa Serka Suwarno tidak terselamatkan. Dia gugur malam harinya akibat kehabisan darah.
Letnan Marsetio tergeletak di ruang perawatan. Tim dokter di RS Tanjungpinang akan mengamputasi kaki kirinya yang patah. Tindakan amputasi, diambil untuk menyelamatkan nyawa Letnan Marsetio.
Letkol Laut (P) Doekoet Noegroho, Komandan KRI Mandau-621, lulusan AAL angkatan XII yang di kemudian hari menjadi komandan KRI Fatahillah mendapat laporan rencana amputasi tersebut segera menghadap Panglima Armada, Laksamana Muda TNI Rudolf Kasenda.
“Kalau Panglima mengijinkan, kami akan mempertahankan keutuhan kaki Letda Marsetio. Kami dengar, Letda Marsetio lulusan terbaik di angkatannya. Selain itu, dia perwira korps pelaut,” kata Letkol Doekoet mengutip percapakannya dengan Laksamana Kasenda.
Panglima Armada setuju. Letkol Doekoet lantas berkoordinasi menggunakan peralatan komunikasi jarak jauh dengan tim dokter di RSAL Tanjungpinang. Dia menyampaikan permintaan agar kaki kiri Letda Marsetio tak perlu diamputasi.
Pada mulanya, dokter tetap pada prinsip mereka yang didasarkan pada aspek medis. “Saya tidak menyalahkan dokter karena itu yang terbaik. Tapi mohon dokter pakai aspek lain. Letda Marsetio baru saja lulus Akabri dan lulus terbaik,” kata Letkol Doekoet meyakinkan tim dokter.
Tim dokter masih tetap bertahan dengan keputusan amputasi, sampai kemudian bertanya melalui saluran komunikasi radio, siapa perwira yang berbicara apa jabatannya. Serta, kenapa begitu gigih memperjuangkan keutuhan kaki Letda Marsetio.
“Saya Letkol Doekoet Noegroho, Komandan KRI Fatahillah-361, berbicara atas perintah Panglima Armada Laksamana Muda Rudolf Kasenda,” katanya.
Letkol Doekoet juga menyampaikan agar Letda Marsetio segera dievakuasi ke Rumah Sakit TNI AL di Jakarta atau Surabaya yang fasilitasnya memadai.
Dirawat dari Tanjungpinang ke Surabaya
Letda Marsetio selama tiga hari menjalani perawatan di RSAL Tanjungpinang. Tim dokter RSAL Tanjungpinang akhirnya tidak mengamputasi kakinya.
Letda Marsetio dipindahkan ke RSAL Dr. Ramelan di Surabaya menggunakan pesawat udara Nomad N-22. Saat evakuasi medis menggunakan pesawat, Letda Marsetio ditemani Letda Laut (T) Tatang Hidayat.
Di Surabaya, Letda Marsetio menjalani sembilan kali operasi bedah tulang untuk menyelamatkan kakinya dalam waktu enam bulan. Dokter ahli bedah tulang, Kolonel Laut (K) Dr. FX Susanto dan Mayor Laut (K) Dr. Subagyo melakukan berbagai upaya penyelamatan agar kaki Marsetio jangan sampai diamputasi.
Namun, kedua dokter TNI AL itu sudah mewanti-wanti akan tetap mengambil langkah terakhir tersebut bila jaringan otot kaki kiri Marsetio tidak bisa diselamatkan lagi.
Langkah amputasi akhrinya tidak terjadi, setelah puluhan kali masuk chamber menjalani terapi oksigen hiperbalik. Terapi oksigen murni bertekanan tinggi tersebut membuat jaringan otot kaki dan daging di kaki kiri Marsetio bertahan pulih kembali, tidak membusuk.
Setelah ancaman amputasi bisa dihindarkan, Letda Marsetio menjalani fisioterapi untuk belajar berjalan dengan menggunakan tongkat penyangga. Namun, cobaan datang kembali.
Pada bukan keenam perawatan, Letda Marsetio bosan terus menerus berada di kamar perawatan. Dengan tongkatnya, ia berjalan tertatih ke teras rumah sakit. Disana, ia duduk-duduk santai menghabiskan waktu.
Tiba-tiba gardu listrik tidak jauh dari tempatnya duduk meledak akibat hubungan arus pendek. Secara reflek, Letda Marsetio melompat dari tempat duduknya. Akibatnya, kaki kirinya patah kembali.
Kembali ke KRI Fatahillah-361
Setelah sekitar enam bulan lebih berada di Surabaya, Letda Marsetio diperbolehkan dokter berkumpul kembali dengan keluarganya di Jakarta. Hal ini untuk memberi rasa nyaman bagi Marsetio, berada di tengah keluarganya sehingga secara psikologis diharapkan cepat pulih.
Saat berada di Jakarta, Letda Marsetio mengisi waktu luang dengan mengikuti kursus bahasa Inggris di Sekolah Bahasa TNI AL. Pilihan yang tepat, karena dengan penguasaan bahasa Inggris yang bagus tak membuatnya kesulitan mengikuti berbagai pendidikan di luar negeri.
Selama satu setengah tahun, Letda Marsetio berjuang mengatasi kaki kirinya. Pada akhirnya, kaki kirinya yang patah bisa sembuh total. Ditengah perawatan, tepatnya pada akhir Maret 1983 pangkatnya naik menjadi Letnan Satu.
Setelah menjalani operasi pencabutan pen, Letnan Satu Marsetio kembali ke Surabaya dan ditempatkan sebagai Kepala Seksi Administrasi di Satuan Kapal Eksorta Armada RI. Kemudian, Letnan Satu Marsetio ditugaskan kembali ke KRI Fatahillah-361 yang saat itu sudah dipimpin Letkol Doekoet Noegroho setelah menerima jabatan dari Letkol Sutanto di Sorong, Papua.
KRI Fatahillah-361 menjadi menjadi kawah candradimuka bagi perwira TNI Angkatan Laut. Dari sana, Marsetio mendapat penugasan di kapal perang lain diantaranya KRI Nala-363 sebagai Perwira Komunikasi pada Juli 1984 dan Komandan kapal saat berpangkat Letkol.
Kemudian KRI Layang-819 sebagai Pewira Pelaksana, pada Mei 1985.KRI Slamet Riyadi-352 sebagai Kepala Pusat Informasi Tempur, tahun 1968 dan Kepala Divisi Artileri pada tahun 1989.
Karirnya terus meningkat hingga menyandang bintang empat di pundak dengan jabatan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) 2012 hingga 2015.
Musibah di KRI Fatahillah-361 sangat membekas dalam pribadi Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio. Disana, ia mendapati makna “berkorban jiwa dan raga” untuk menjaga Indonesia. Prinsip berkorban jiwa raga menjaga Indonesia kembali teruji saat berhadapan dengan kapal perang Malaysia di perairan Ambalat yang akan kami kisahkan di tulisan berikutnya.
(Disarikan dari buku biografi Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio: “Kesadaran Baru Maritim” oleh Rajab Ritonga)
Lihat juga galeri foto Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio dengan dengan klik tombol ‘Next Page’ dibawah ini: