Bersimbah Darah di Geladak KRI Fatahillah-361

oleh
KRI Fatahillah-361
KRI Fatahillah-361. Foto: Koarmabar TNI AL

KRI Fatahillah-361 menyimpan kenangan bagi Kepala Staf TNI Angkatan Laut periode 2012 – 2015, Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio. Di KRI Fatahillah-361, darahnya tumpah dan nyaris nyawanya melayang.

Sebagai lulusan terbaik Akademi Angkatan Laut, yang saat itu bernama Akabri Bagian Laut, Letnan Dua Laut (P) Marsetio ditempatkan di kapal perang canggih KRI Fatahillah-361. Pada tahun 1980-an, kapal itu merupakan kapal perang termodern yang dimiliki Indonesia. KRI Fatahillah-361 dibangun di galangan kapal Belanda, dibeli pemerintah Indonesia dan digunakan TNI AL dalam kondisi baru 100 persen.

Menyandang nama pahlawan nasional, KRI Fatahillah dilengkapi sistem teknologi perang serba komputer, temasuk dalam mengolah gerak kapal maupun persenjataan. Sistem persenjataannya mampu melakukan penembakan meriam dan peluru kendali Exocet MM-38 untuk menghancurkan target sejauh 38 kilometer.

Pemerintah Indonesia di tahun 1980 membeli tiga korvet kelas Fatahillah, yang diberi nama KRI Fatahillah-361, KRI Malahayati-362, dan KRI Nala-363. Bagi TNI AL, pembelian ketiga korvet itu menjadi ‘lompatan teknologi 25 tahun ke depan’. Pasalnya, sebelum korvet kelas Fatahillah datang, TNI AL masih menggunakan kapal berteknologi lama tanpa sistem kendali persenjataan berbasis komputer, sehingga kalau menembakkan meriam jarang pelurunya mengenai sasaran.

Selain membeli tiga korvet buatan galangan kapal Wilton Fijenoord, Belanda, pemerintah Indonesia juga mendatangkan dua kapal selam kelas U-209 tipe 1.300 buatan Howaldstwerke, Jerman pada tahun 1981 yakni KRI Cakra-401 dan KRI Nanggala-402. Dua kapal selam tersebut untuk menggantikan kapal selam kelas Whiskey eks Uni Sovyet yang sudah tak laik laut.

Baca Juga: KRI Usman Harun, Kapal Perang yang Membuat Singapura Meradang

Kapal cepat roket pun didatangkan dari Korea Selatan, yakni KRI Mandau-621, KRI Rencong-622, KRI Badik-623, dan KRI Keris-624. Dari negeri ginseng, juga didatangkan enam kapal angkut tank yakni KRI Teluk Semangka-512, KRI Teluk Penyu-511, KRI Teluk Mandar-514, KRI Teluk Sampit-515, KRI Teluk Banten-516, dan KRI Teluk Ende-517.

Lompatan teknologi di tahun itu semakin lengkap dengan datangnya kapal latih modern KRI Ki Hajar Dewantara, buatan Yugoslavia. KRI Ki Hajar Dewantara pun menjadi kawah candradimuka bagi taruna Akademi Angkatan Laut, menjadi tempat praktek berlayar ke seluruh penjuru nusantara.

Semua kapal baru tersebut menjadi kapal-kapal kebanggaan TNI AL. Sebagai kapal kombatan, korvet kelas Fatahillah menjadi tulang punggung armada RI bersama fregat kelas Van Speijk yang dibeli kemudian.

Untuk mengawaki korvet baru, personelnya merupakan para perwira pilihan. Lulusan terbaik Akabri Bagian Laut peringkat satu hingga tiga masing-masing korps, kecuali marinir, otomatis ditempatkan di tiga korvet tersebut.

Laksamana (Purn) Prof. Dr.Marsetio, Ketua Bidang Yachts Cruise Tim Percepatan Pengembangan Wisata Bahari, Kementerian Pariwisata Republik Indonesia di Australia. Foto: Istimewa
Laksamana (Purn) Prof. Dr.Marsetio (kiri) di Australia. Foto: Istimewa

Uji Pelayaran KRI Fatahillah

Letnan Dua Marsetio, yang menyandang korps pelaut bertugas di KRI Fatahillah-361 dengan jabatan Asisten Perwira Navigasi. Sebuah jabatan yang diperuntukkan bagi perwira yunior yang baru lulus dari akademi.

Tugasnya adalah membantu Perwira Navigasi Satu, yang saat itu dijabat Mayor Laut (P) Tauhid Apriyanto, dan Perwira Navigasi Dua, Kapten Laut (P) Hasyim dalam menentukan posisi kapal dalam setiap kali pelayaran.

Sebagai alat utama sistem persenjataan baru, kapal itu mampu berlayar hingga 32 knot namun belum pernah dicoba. Panglima Armada, Laksamana Muda TNI Rudolf Kasenda ingin menjajal kemampuannya sekaligus menjadikan pengalaman berlayar bagi awaknya.

Satu kapal dengan mesin serupa namun bobotnya lebih kecil, KRI Mandau-621 telah selesai melakukan uji coba mesin. KRI Mandau-621 melaju dengan kecepatan 45 knot, berlayar nonstop dari Surabaya ke Jakarta.

“Saya berangkat dari Surabaya selesai penaikan bendera Merah Putih jam delapan pagi dan tiba di Jakarta pada pukul enam sore sebelum penurunan bendera,” kata Kolonel Laut (Purn) Doekoet Noegroho, menceritakan pengalamannya saat menguji coba mesin turbin kapal cepat roket KRI Mandau-621.

Laksamana Muda Kasenda merencanakan pelayaran keliling Sumatera untuk KRI Fatahillah. Ia ikut di kapal sebagai Senior Officer Present Aboard. Komandan kapal dipegang Letkol Laut (P) Sutanto, lulusan Akademi Angkatan Laut angkatan XI tahun 1965. Laksamana Muda Kasenda, seorang perwira tinggi lulusan AAL tahun 1955 dikenal tegas dan keras saat berada di anjungan kapal.

Ikut juga Letkol Laut (P) Doekoet Noegroho, Komandan KRI Mandau-621, lulusan AAL angkatan XII yang akan menggantikan Letkol Laut (P) Sutanto. Calon komandan ikut berlayar merupakan satu tradisi di TNI AL sebagai upaya pengenalan kapal dan anak buahnya. Selama berada di kapal, Letkol Doekot tidak memberi perintah sebab komando sepenuhnya tetap di tangan komandan kapal yang segera diganti.

KRI Fatahillah-361 segera dipacu mesin turbinnya sejak keluar dari pelabuhan Surabaya. Kapal melaju dengan kecepatan tinggi, menuju ke barat sampai Pulau Belakang Padang di Selat Malaka.

Cuaca di Laut Jawa saat itu sangat buruk. Kapal terbanting-banting membuat banyak anak buah kapal tumbang, mabuk laut. Meski ombak besar, kapal terus dipacu dengan kecepatan lebih dari 30 knot.

Puncaknya, kapal melaju selama 24 jam non stop dalam kondisi cuaca sangat buruk, ombak tinggi dan bahan bakar mulai menipis. Musibah terjadi.

Musibah di Geladak KRI Fatahillah

Kapal yang bahan bakarnya mulai menipis, menuju Pulau Sambu untuk mengisi ulang di dermaga Pertamina. Sebelumnya, kapal dipacu melaju dengan kecepatan tinggi selama 24 jam non stop dalam kondisi cuaca sangat buruk.

Laksamana Muda Kasenda tidak banyak berkomentar tentang pelayaran uji coba tersebut karena kapal memang mampu melaju sesuai spesifikasi mesinnya. Sejauh itu, semua berlangsung sesuai dengan rencana.

Merapat di Dermaga Pertamina Pulau Sambu tidak semudah merapat di tempat lain. Dermaganya sempit, dan ada karang di dekat dermaga. Disana juga tidak ada jasa pandu, sehingga harus merapatkan kapal mengunakan tenaga mesin sendiri.

Kapal hendak merapat sekitar pukul 6.00 WIB. Cuaca masih buruk. Letda Marsetio yang seharusnya berada di anjungan diminta pindah ke haluan bersama Perwira Navigasi Satu, Mayor Tauhid yang harusnya juga di anjungan. Ketika itu, yang berada di anjungan justru Perwira Navigasi Dua, Kapten Hasyim.

Letkol Sutanto berencana menyandarkan kapal pada lambung kiri. Saat itu, perwira navigasi melapor arus masih mengarah ke luar dermaga ke arah utara, sehingga komandan merapatkan kapal dengan melawan arus sebagaimana mestinya.

Namun, arus berubah menuju dermaga dari arah selatan ketika kapal sudah hampir merapat. Situasi itu membuat komandan mengubah keputusan dengan memberi perintah: “Mesin mundur setengah, lepas tross.”

Agar istilah mudah dipahami, kecepatan kapal dihitung dengan putaran mesin per menit (RPM) dengan istilah, Pelan, Setengah, dan Penuh. Tross adalah tali yang berada di haluan dan buritan kapal, berfungsi untuk mengikat kapal saat sandar di dermaga.

Prajurit TNI AL mengatur tali tross di kapal perang. Foto: Dispenal
Prajurit TNI AL mengatur tali tross di kapal perang. Foto: Dispenal

Saat perintah itu keluar, mata tali tross sudah berada di bolder dermaga. Tim di geladak pun sudah memasukkan tali ke mesin lir yang menarik kapal sandar ke dermaga.

Perintah komandan “lepas tross” belum sampai ke geladak ketika kapal begerak mundur. Akibatnya fatal, tali putus tidak kuat menahan beban.

“Bunyinya menggelegar,” kata Kolonel Laut (Purn) Doekoet Noegroho yang menyaksikan peristiwa itu dari anjungan.

Baca Juga: Aksi Pendadakan Kopaska ke Kapal Malaysia di Ambalat

Anjungan Kapal Berlumuran Darah

Tali putus itu laksana pecut berkekuatan raksasa, menghantam kaki personel di geladak KRI Fatahillah-361. Korban pertama adalah Sersan Kepala Suwarno. Tebasan tali membuat kakinya putus dan terlempar ke laut.

Tali kemudian mematahkan kaki kiri Letda Marsetio. Korban lain adalah Mayor Tauhid dan Kelasi Budi, namun keduanya tidak parah.

Kolonel Laut (Purn) Doekoet Noegroho menggambarkan kejadian memilukan itu sangat mencekam. Kaca anjungan berlumuran darah, begitu juga kubah meriam Bofors 120 mm di haluan kapal berubah warna dari abu-abu menjadi merah.

Panglima Armada, Laksamana Muda TNI Rudolf Kasenda yang menyaksikan peristiwa itu langsung berteriak, “Doekot, ambil alih komando!”

Dengan sikap sempurna, Letkol Doekoet menjawab “Siap, Panglima.”

Ia langsung mendekati seniornya, Letkol Sutanto. “Mas, saya ambil alih,” kata Letkol Doekoet berbicara sambil memegang lengan seniornya itu.

“Ya, monggo,” jawab Letkol Soetanto dalam bahasa Jawa.

Letkol Doekoet bereaksi cepat. Ia memutuskan tetap menyandarkan kapal di lambung kiri.

“Mesin stop,” perintahnya kepada Kepala Kamar mesin.

Letkol Doekoet adalah pelaut yang kenyang asam garam teori dan praktek menggerakan kapal pada berbagai situasi. Dia kemudian memajukan kapal sebelum mundur “pelan sekali” dan bersandar di dermaga.

Bagi Letkol Doekoet, menyandarkan kapal seperti itu bukan pekerjaan sulit, sebab mesin baling-baling KRI Fatahillah-361 sama dengan KRI Mandau-621.

Menurut Doekoet, KRI Fatahillah-361 adalah kapal berteknologi canggih sehingga bisa digerakkan dalam berbagai kondisi. Kapal itu memiliki sistem pedorong yang sudut daun baling-balingnya bisa diatur pemakaiannya berdasarkan perintah maju atau mundur dengan “pelan sekali”, “pelan”, “setengah”, atau “penuh”. Dengan sistem seperti itu, tidak ada masalah dalam merapatkan kapal meskipun arus mendorong kapal ke arah dermaga saat mau sandar.

Evakuasi Medis

Setelah kapal sandar, Letkol Doekoet berlari ke geladak isyarat. Langkah strategis harus diambil untuk menyelamatkan nyawa anak buah kapal, dengan mengevakuasi korban secepatnya ke rumah sakit. Langkah itu diambil karena fasilitas di kapal tidak memadai untuk menangani kasus darurat seperti itu.

Rumah sakit terdekat ada di Tanjungpinang, yang memerlukan waktu lebih dari empat jam untuk mencapainya dari Pulau Sambu. Tak mungkin mencapainya, kapal telah sandar dan bahan bakar menipis.

Juga tidak mungkin menurunkan sekoci, sebab daya jejahnya terbatas. Satu-satunya jalan adalah mencari bantuan.

Dari geladak, ia melihat pada lambung kanan dari arah buritan, sebuah kapal patroli Bea Cukai (BC) melaju dengan kecepatan tinggi. Letkol Doekoet memerintahkan bintara komunikasi mengirim isyarat bendera untuk menghentikan kapal Bea Cukai dan memintanya merapat di lambung kanan Fatahillah.

Bendera isyarat dikibarkan. Isyarat Lima “harap berhenti segera” dan bendera isyarat India “merapat di lambung kanan saya” ditanggapi.

Kapal Bea Cukai merespon isyarat, merapat dengan cepat ke lambung kanan Fatahillah. Letkol Doekoet berlari ke kapal Bea Cukai, meminta nakhoda mengantarkan Letda Marsetio dan Serka Suwarno ke Rumah Sakit TNI AL (RSAL) di Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

Evakuasi medis berlangsung cepat. Dengan kecepatan tinggi, kapal Bea Cukai melesat menuju Tanjungpinang menembus ombak yang juga belum reda. Meski begitu, nyawa Serka Suwarno tidak terselamatkan. Dia gugur malam harinya akibat kehabisan darah.

Lalu bagaimana dengan Letnan Marsetio? Tim dokter di RSAL Tanjungpinang akan mengamputasi kaki kirinya untuk menyelamatkan hidupnya. Namun, Tuhan berkehendak lain.

Ikuti kisahnya di bagian kedua tulisan ini dengan mengeklik tulisan: Bersimbah Darah di Geladak KRI Fatahillah-361 (Bagian ke-2)

(Disarikan dari buku biografi Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio: “Kesadaran Baru Maritim” oleh Rajab Ritonga)

Lihat juga, galeri foto Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio bersama tokoh angkatan laut dengan klik tombol ‘Next Page’ dibawah ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *