Dalil Objektif dan Subjektif Mengapa Indonesia Anti Penjajahan​

oleh
Keterlibatan bangsa Indonesia dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia
Keterlibatan bangsa Indonesia dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia

Pernyataan bangsa Indonesia anti penjajahan secara jelas tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pernyataan tersebut berbunyi “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Dengan begitu, dalil objektif memiliki artian bahwa seluruh penajajahan yang berada di dunia haruslah dihapuskan. Hal itu dikarenakan penjajahan tidaklah menjadi sebuah hal yang akan sesuai dengan perikemanusiaan dan juga perikeadilan. Selain itu, mendapatkan kemerdekaan menjadi hak asasi yang berada di seluruh dunia.

BACA JUGA: Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan tinggi

Secara subjektif, Indonesia anti penjajahan​ adalah pernyataan yang dimana seluruh aspirasi yang dimiliki oleh masyarakat dan juga bangsa Indonesia adalah guna untuk dapat melakukan pelepasan dari penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang ada di seluruh dunia. Kemudian, dari bangsa Indonesia sendiri sejatinya telah melakukan perjuangan dalam waktu ratusan tahun guna untuk mendapatkan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Eropa dan Asia.

Dalam mewujudkan komitmen bangsa Indonesia yang anti-penjajahan dan penindasan suatu bangsa terhadap bangsa yang lain, orientasi penyelenggaraan pertahanan negara diarahkan untuk sebesar-besarnya mewujudkan daya tangkal bangsa yang handal.

BACA JUGA: Yandex, Alternatif Browser untuk Mengakses Berbagai Website

Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Di sini pula terletak dasar fundamental dari pada politik luar negeri Republik Indonesia yang terkenal sebagai politik bebas dan aktif.

Sejak presiden pertama Soekarno hingga sekarang, pemerintah Indonesia memilki prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif. Politik luar negeri pemerintah Indonesia yang bebas dan aktif maksudnya Indonesia bebas untuk menjalin kerja sama dengan negara manapun, serta turut aktif dalam organisasi internasional untuk bekerja sama dan menjaga perdamaian dunia.

Berikut bentuk dari peran Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia:

1. Mengirim pasukan perdamaian kontingan Garuda

Sejarah pasukan penjaga perdamaian Indonesia/Pasukan Garuda (Kontingen Garuda/Konga) dimulai dengan pengiriman misi pertamanya, yaitu Kontingen Garuda I pada tahun 1957 ke Mesir (UNEF) di Timur Tengah. Kontingen Garuda atau Pasukan Garuda ini terdiri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ditugaskan sebagai pasukan perdamaian di negara lain. Ide awal munculnya pasukan ini karena adanya konflik di Timur Tengah pada 26 Juli 1956.

Selanjutnya pengiriman Kontingen Garuda setingkat batalyon di Kongo, yaitu Kontingen Garuda II pada tahun 1960-1961 dan Kontingen Garuda III di tahun 1963-1964. Lalu Kontingen Garuda IV pada tanggal 7 April 1973, Kontingen Garuda V pada tanggal 23 Juli 1973, dan Kontingen Garuda VII ke Vietnam untuk melakukan pengawasan terhadap gencatan senjata.

Kemudian Kontingen Garuda VI pada tahun 1973-1974 dan Kontingen Garuda VIII pada tahun 1974-1979 ke Mesir. Selanjutnya, Kontinten Garuda XII pada tahun 1992-1994 ke Kamboja, lalu Kontingen Garuda XIV di tahun 1995 ke Bosnia, dan Kontingen Garuda XXIII/UNIFIL di tahun 2006-2015 ke Lebanon. Kontingen Garuda lainnya merupakan pengamat militer di berbagai misi PBB di dunia, termasuk Brigjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden RI, yang menjabat sebagai Chief Military Observer pada Konga XIV di Bosnia (UNTAES, 1995-1996).

Selain itu, peran lain Indonesia dalam UN Peacekeeping Operation ialah Indonesia telah mengirimkan kapal lautnya, yaitu KRI Diponegoro sejak 2009 untuk bergabung dengan Maritime Task Force (MTF) of the UNIFIL di Lebanon.

Beberapa posisi high ranking officials di UNIFIL juga telah dipercayakan kepada Indonesia, yaitu Chief of Staff of the Maritime Task Force (MTF) dan Deputy Commander Sector East di UNIFIL. Selain itu, Indonesia juga berpartisipasi dalam UN PKO di kawasan Amerika, yaitu pada UN Stabilization Mission in Haiti (MINUSTAH).

Baca Juga: Alat Pemersatu Bangsa, Makna dan Penjelasannya

2. Gerakan Non Blok

Gerakan Non-Blok (GNB) (bahasa Inggris: Non-Aligned Movement/NAM) adalah suatu organisasi internasional yang terdiri lebih dari 100 negara-negara yang menganggap dirinya tidak beraliansi dengan kekuatan besar apapun.

Tujuan dari organisasi ini, seperti yang tercantum dalam Deklarasi Havana tahun 1979, adalah untuk menjamin kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan dari negara-negara nonblok dalam perjuangan mereka menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid, rasisme dan segala bentuk agresi militer, pendudukan, dominasi, interferensi atau hegemoni dan menentang segala bentuk blok politik.

Mereka merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan hampir 2/3 keangotaan PBB. Negara-negara yang telah menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi (KTT) Non-Blok termasuk Yugoslavia, Mesir, Zambia, Aljazair, Sri Lanka, Kuba, India, Zimbabwe, Indonesia, Kolombia, Afrika Selatan dan Malaysia.

Lima prinsip gerakan Non Blok adalah:

  • Saling menghormati integritas teritorial dan kedaulatan.
  • Perjanjian non-agresi
  • Tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain
  • Kesetaraan dan keuntungan bersama
  • Menjaga perdamaian

Gerakan Non Blok adalah wujud nyata bentuk dari peran Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia.

3. Deklarasi Djuanda

Deklarasi Djuanda menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI, Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) sehingga dengan demikian luas wilayah Indonesia meningkat menjadi 2, kali lipat dari sebelumnya 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.

Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal- kapal asing dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan dan/ atau mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.

Deklarasi Juanda itu kemudian disahkan melalui UU No. 4/PRP/Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dengan demikian luas wilayah laut Indonesia bertambah lebih luas dengan sangat signifikan hingga menjadi sekitar 3,1 juta km persegi.

4. Aktif dalam ASEAN

ASEAN (Association of South East Asian Nation) adalah salah satu organisasi internasional yang bersifat kawasan atau region, tepatnya di kawasan Asia Tenggara.

Berdirinya organisasi ASEAN (Association of South East Asian Nations), sebelumnya diawali dengan adanya pertemuan lima menteri luar negeri dari negara-negara Asia Tenggara pada 5 – 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand.

Diakhir pertemuan, tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, lima Wakil Negara/ Pemerintahan negara-negara Asia Tenggara, yaitu Menteri Luar Negeri Indonesia (Adam Malik), Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan dan Menteri Pembangunan Nasional Malaysia (Tun Abdul Razak), Menteri Luar Negeri Filipina (Narciso Ramos), Menteri Luar Negeri Singapura (S. Rajaratnam), dan Menteri Luar Negeri Thailand (Thanat Khoman) menindaklanjuti Deklarasi Bersama dengan melakukan pertemuan dan penandatanganan Deklarasi ASEAN (The ASEAN Declaration) atau yang dikenal dengan Deklarasi Bangkok (Bangkok Declaration).

Isi Deklarasi Bangkok itu adalah sebagai berikut:

  • Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara;
  • Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional;
  • Meningkatkan kerja sama dan saling membantu untuk kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan, dan administrasi;
  • Memelihara kerja sama yang erat di tengah-tengah organisasi regional dan internasional yang ada;
  • Meningkatkan kerja sama untuk memajukan pendidikan, latihan, dan penelitian di kawasan Asia Tenggara.

Berikut ini beberapa contoh kerja sama antar negara ASEAN di bidang keamanan regional dan kawasan Asia Pasifik dimana Indonesia terlibat aktif:

  • Patroli Bersama di Perbatasan Negara

Sebagai negara bersahabat, antar negara ASEAN sering berpatroli bersama menjaga perbatasan antar negara. Indonesia dan Malaysia misalnya, sering melakukan patroli perbatasan di darat, laut dan udara.

Contohnya, pada Patroli Terkoordinasi Operasi Tindakan Maritim Malaysia-Indonesia, dengan dilaksanakannya patroli pemantauan udara maritim Indonesia-Malaysia di wilayah Selat Malaka dan perbatasan Indonesia – Malaysia

Dalam pelaksanaan patroli bersama bertajuk Optima Malindo 27A/18 ini, Indonesia melalui Bakamla RI melibatkan unsur udara maritim yang juga masuk dalam operasi udara Bakamla RI Bhuana Nusantara, yang nantinya akan bertugas melaksanakan pendeteksian, pengenalan dan pengintaian terhadap kapal-kapal yang dicurigai melaksanakan tindak pelanggaran di laut, serta memberikan bantuan pencarian dan penyelamatan (SAR).

Melalui kerjasama Operasi Udara Patkor Optima Malindo 27A/18, diharapkan gangguan keamanan dan keselamatan laut di wilayah perairan Selat Malaka dapat diminimalisir, baik gangguan berupa pelanggaran batas wilayah, pembajakan dan perompakan di laut, keselamatan pelayaran, penyelundupan, perusakan kabel dasar laut, pelanggaran terhadap peraturan perikanan (illegal fishing), pencemaran laut, perusakan terumbu karang dan biota laut, serta pendatang tanpa ijin (illegal migrant).

  • Pemberantasan Terorisme

Kerja sama ASEAN di bidang pemberantasan terorisme telah dilakukan sejak kurun waktu yang lama. Pertemuan KTT ASEAN ke-7 tahun 2001 di Brunei Darussalam telah mengeluarkan ASEAN Declaration on Joint Action to Counter Terrorism. SelanjutnyaKTT ke-8 ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, November 2002 mengeluarkan Declaration on Terrorism. Mekanisme utama kerja sama pemberantasan terorisme di ASEAN dilakukan melalui AMMTC dan SOMTC, dimana Indonesia dipercaya menjadi lead shepherd di bidang counter terrorism sekaligus menjadi ketua Working Group on Counter Terrorism (WG-CT).

Salah satu capaian kerja sama ASEAN dalam pemberantasan terorisme adalah ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) yang ditandatangani oleh seluruh Kepala Negara Anggota ASEAN pada KTT ke-12 ASEAN tanggal 13 Januari 2007 di Cebu, Filipina. Sejak 27 Mei 2011, ACCT berlaku setelah enam Negara Anggota ASEAN (Kamboja, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Brunei) meratifikasinya. Indonesia meratifikasi ACCT melalui UU No. 5 tahun 2012 yang disahkan tanggal 9 April 2012. Pada tahun 2013, seluruh Negara ASEAN telah meratifikasi ACCT yang ditandai dengan penyerahan instrumen ratifikasi oleh Laos dan Malaysia pada Sekretariat ASEAN pada bulan Januari 2013.

ACCT disusun untuk memiliki nilai tambah dibandingkan dengan instrumen hukum internasional serupa, dengan desain yang memiliki karakteristik regional yang kuat. Kerja sama yang tertuang dalam konvensi tersebut bersifat komprehensif yang mencakup bidang pencegahan, penindakan (law enforcement), pemberantasan, dan program rehabilitasi, sebagai salah satu strategi dan pendekatan untuk mencegah terulangnya tindak kejahatan terorisme serta pengungkapan jaringan terorisme. Konvensi ini memuat berbagai bentuk kerja sama dalam bidang penanganan root causes terorisme termasuk kerja sama untuk mendorong interfaith dialogues yang merupakan gagasan/pemikiran untuk Indonesia yang telah dianut secara global.

ASEAN juga aktif menjalin kerja sama dengan negara-negara lain dalam upaya pemberantasan terorisme.

  • Perjanjian Keamanan Maritim

Declaration on ASEAN Concord II 2003 menekankan bahwa isu maritim bersifat lintas batas negara, sehingga penanganannya harus dilakukan secara menyeluruh, terintegrasi dan komprehensif. Perairan di Asia Tenggara danLaut China Selatan memiliki arti penting bagi perekonomian, perdagangan, transportasi, dan komunikasi seluruh negara anggota ASEAN sertakekuatan-kekuatan maritim global.

Selain itu, kawasan Asia Tenggara dinilai memiliki potensi konflik yang berkaitan dengan masalah maritim dan rentan terhadap ancaman keamanan maritim yang bersifat non-tradisional. Oleh karena itu, isu maritim perlu ditangani secara sinergi oleh berbagai ASEAN sectoral bodies, sesuai fokus dan kewenangannya dan perlu dikoordinasikan secara komprehensif.

Kerja sama maritim serta pembahasan isu-isu maritim dalam kerangka ASEAN dilakukan dalam berbagai mekanisme diantaranya ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN Defence Ministerial Meeting (ADMM), ASEAN Defence Ministerial Meeting Plus (ADMM-Plus), ASEAN Maritime Forum (AMF) dan Expanded ASEAN Maritime Forum (EAMF), dan sekitar tiga belas (13) mekanisme ASEAN lainnya seperti ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM), ASEAN Ministers Meeting on Transnational Crime (AMMTC), ASEAN Fisheries Consultative Forum (AFCF), ASEAN-Mekong Basin Development Cooperation (AMBDC), ASEAN Cruise Tourism, Head of ASEAN Coast Guards Meeting, ASEAN Connectivity Coordinating Committee (ACCC), ASEAN Ministerial Meeting on Environment, ASEAN Ministerial Meeting on Agriculture and Forestry (AMAF), ASEAN Fisheries Consultative Forum (AFF), Meeting of the ASEAN Tourism Ministers (MATM), ASEAN Connectivity Coordinating Committee (ACCC), ASEAN Transport Ministers Meeting (ATM), ASEAN Law Ministers Meeting (ALAWMM) / ASEAN Senior Law Officials Meeting (ASLOM), dan lain-lain.

  • Operasi Pemeliharaan Perdamaian

Isu operasi pemeliharaan perdamaian atau peacekeeping operation merupakan satu bidang kerja sama penting dalam ARF, meskipun tidak memiliki suatu mekanisme pertemuan regular setiap tahunnya. Pembahasan isu ini dilakukan melalui ARF Peacekeeping Experts’ Meeting (PKEM). Sesuai dengan mandatnya, ARF PKEM membahas kerjasama yang bersifat konseptual dan pertukaran informasi terkait misi pemeliharaan perdamaian.

Sejak penyelenggaraan Pertemuan ke-3 Tingkat Menlu ARF tahun 1996, ARF telah menyepakati peningkatan kerjasama di bidang peacekeeping termasuk aktif dalam United Nations Special Committee on Peace Keeping Operations.

Hingga saat ini, tercatat telah enam kali diselenggarakan Pertemuan ARF PKEM yang bertujuan untuk memfasilitasi pertukaran pandangan dan pengalaman terkait operasi pemeliharaan perdamaian yang dilakukan oleh Peserta ARF, termasuk yang dilaksanakan di dalam konteks UN Peacekeeping Operations (PKO). Pertemuan ini juga diarahkan untuk dapat mengembangkan jejaring pemeliharaan perdamaian di kawasan dan meningkatkan kapasitas para peacekeeping trainer.

Pertemuan ke-6 ARF PKEM telah diselenggarakan di Beijing, RRT pada tanggal 15-17 Oktober 2013. Pertemuan diketuai bersama oleh Kamboja dan RRT dengan mengusung tema “Enhancing Pragmatic Cooperation: Improving Peacekeeping Training with Joint Efforts”. Pertemuan dilaksanakan untuk berbagi pengalaman dan best practices mengenai pelatihan peacekeepers dari berbagai negara ARF dalam rangka pagelaran di UN PKO. ​

ASEAN merupakan bentuk dari peran Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia melalui keamanan kawaasan regional.

Baca Juga: Faktor Pendorong dan Penghambat Kerjasama ASEAN, Berserta Contohnya

5. Konfrensi Asia Afrika

Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika (disingkat KTT Asia Afrika atau KAA; kadang juga disebut Konferensi Bandung) adalah sebuah konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KAA diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dahulu Burma), Sri Lanka (dahulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Sunario.

Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.

Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang sebagai ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk mengonsultasikan dengan mereka tentang keputusan-keputusan yang memengaruhi Asia pada masa Perang Dingin; kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka dan pihak Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Prancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial Prancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat.

Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut Dasasila Bandung, yang berisi tentang “pernyataan mengenai dukungan bagi kerukunan dan kerjasama dunia”. Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip Nehru. Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961.

Itulah bentuk dari peran Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia.