Empat Tahun Arungi Nusantara, Begini Keberhasilan Tol Laut

oleh
Program kapal tol laut

Jakarta, indomaritim.id – Sejak peluncuran perdana program Tol Laut pada 4 November 2015, sebanyak 15 trayek telah beroperasi menghubungkan bebagai daerah di pesisir timur dan barat Indonesia. Lima belas trayek Tol Laut antara lain Trayek T-1 rute Teluk Bayur – P. Nias (Gn. Sitoli) – Mentawai (Sikakap) – P. Enggano – Bengkulu PP, Trayek T-6 rute Tanjung Perak – Tidore – Morotai – PP, dan T-15 rute Tanjung Perak – Kisar (Wonreli) – Namrole PP.

“Sebelum ada Tol Laut, masyarakat yang tinggal di daerah tertinggal, terpencil, terdepan dan perbatasan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan barang penting. Bahkan di daerah Natuna, Tarempa, Kepulauan Riau dan Nunukan, Kalimantan Utara sebagian kebutuhan pokok dipenuhi dari negara tetangga, Malaysia. Demikian pula bagi warga di Moa dan Kisar, Maluku Tenggara Barat, sebagian kebutuhan dipasok dari Timor Leste,” kata penulis buku Akhmad Sujadi pada acara Bedah Buku “Tol Laut Jokowi, Denyut Ekonomi NKRI” Rabu, (13/3/2019) malam di Rumah Umat Kotak Hijau, Kebayoran Baru , Jakarta Selatan.

Ia menambahkan, Tol Laut memang kurang tenar dibandingkan jalan Tol Trans Jawa dan jalan Tol Trans Sumatera serta jalan Tol Kalimantan yang dibangun pemerintah.

Baca Juga: Enggartiasto Lukita: Tol Laut Dulu Diolok-olok

“Padahal, Tol Laut menfaatnya sangat terasa bagi warga negara Indonesia yang tinggal di daerah tertinggal, terpencil, terdepan dan perbatasan,” lanjutnya.

Akhmad Sujadi yang saat ini menjabat sebagai Manager Public Relations dan CSR Pelni menyebutkan, Tol Laut yang merupakan pelayaran langsung, terjadwal dan rutin ini telah berhasil menurunkan disparitas harga sehingga kebutuhan pokok lebih terjangkau dan memberikan efek ekonomi.

Ilustrasi tol laut. Foto: Istimewa

“Warga di Tarakan, Kalimantan Utara kini mulai merintis berjualan ayam geprek yang di Jawa menjamur. Harga ayam beku yang lebih murah dari sebelumnya, membuat remaja di Tarakan merintis, membuka usaha ayam kripsi dan ayam geprek,” terang Sujadi.

Akhmad Sujadi mencontohkan, saat mengikuti pelayaran ke daerah timur Indonesia ia bertemu pengusaha kecil bernama Pak Hadi, dari Anambas di Provinsi Kepulauan Riau. “Pak Hadi bercerita kepada saya, sebelum ada Tol Laut ikan gurita atau octopus tidak laku. Sekalipun ada yang beli hanya dihargai Rp10 hingga Rp15 ribu per kg. Setelah ada Tol Laut, ikan dapat dipasarkan di Jakarta dan harganya naik menjadi Rp40 hingga Rp55 ribu per kg,” ujarnya.

“Pak Hadi beli dari nelayan yang makin bergairah melaut sejak dijalankan Tol Laut dari Tanjung Priok, Jakarta ke Natuna,” terang Sujadi.

Akhmad Sujadi (tengah) pada acara Bedah Buku “Tol Laut Jokowi, Denyut Ekonomi NKRI” Rabu, (13/3/2019) malam di Rumah Umat Kotak Hijau, Kebayoran Baru , Jakarta Selatan. Foto: indomaritim.id/Mulyono Sri Hutomo

Pada acara bedah buku dan diskusi yang dihelat Relawan Kotak Hijau ini juga terungkap bahwa Tol Laut terus berkembang, dari dua rute sejak diluncurkan pada 4 November 2015 menjadi 18 rute pada 2018. “Tol Laut juga tidak hanya mengoperaikan kapal kargo untuk angkutan bahan pokok dan barang penting saja, namun Tol Laut juga mengoperasikan 6 kapal ternak.”

Kapal ternak perdana yang diluncurkan perdana oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 10 November 2015 di Ujung Kamal, Madura, Jawa Timur ini, telah bertambah menjadi 6 kapal ternak yang dioperasikan PELNI, ASDP Indonesia Ferry dan perusahaan pelayaran swasta nasional ini sangat mendukung distribusi ternak antar pulau.

Baca Juga: Pengusaha di Ternate Kurang Minati Tol Laut, Alasannya?

“Sebelum ada kapal ternak, untuk mengirim sapi dari NTT, NTB dan Bali ke Jawa menggunakan kapal kargo yang disekat dengan bambu. Untuk menaikkan hewan, sapi diikat dan diangkat dengan crane, hewan menjadi stres dan bobotnya susut hingga 22 persen”, jelas Sujadi.

Setelah ada kapal khusus angkutan ternak, cara memuat sapi ke kapal cukup mudah. Truk tinggal menempel ke kapal, sapi tinggal digiring, diarahkan ke kamar-kamar di kapal. Demikian pula ketika membongkar muatan sapi, cukup digiring menuju truk yang sudah siap di sisi kapal.

“Kapal ternak juga dilengkapi dokter hewan serta kledeng atau pengurus ternak selama pelayaran, sehingga kesehatan hewan sangat terjaga dan dapat mengurangi susut bobot sapi hidup dari 22 persen menjadi lima persen saja. Ini tentu menguntungkan peternak dan juga pedagang,” kata Sujudi yang pernah menjadi Humas PT KAI ini.

Tak berhenti pada pengoperasian kapal saja, untuk mempertahankan atau untuk memenuhi stok barang dan menjaga stabilitas harga, Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN bersinergi dengan menugaskan BUMN transportasi laut, BUMN penyelenggara pelabuhan dan BUMN penyedia pangan untuk membangun “Rumah Kita” di daerah T3P.

Keberadaan “Rumah Kita” dengan tampilan modern sebagai pusat perdagangan dan distribusi logistik ke wilayah lanjutan di daerah tujuan Tol Laut, telah menjadi pelopor modernisasi perdagangan. Pengelolaan “Rumah Kita” yang bekerjasama dengan BUMD, BUMDes, Koperasi dan para pengusaha daerah juga menjadi acuan harga di daerah T3P.

Buku “Tol Laut Jokowi Denyut Ekonomi NKRI” merupakan buku dokumentasi. Sujudi menyebutkan, ia hanya merangkum apa yang dilakukan pemerintah dibawah Presiden Jokowi dalam mewujudkan janji kampanye. Buku setebal 278 halaman ini ditulis dengan bahasa sederhana agar Tol Laut mudah dipahami pembaca.

“Kami menulis buku secara mandiri. Pak Jokowi tidak kami beritahu, tidak pula dimintai ijin untuk menulis buku ini. Mungkin beliau juga belum dapat bukunya,” kata Akhmad Sujadi memungkasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *