Globalisasi dalam bidang ekonomi, dalam pengertian secara umum adalah proses integrasi ekonomi individu dan negara ke ruang lingkup dunia.
Sebelum membahasnya lebih jauh, mari kita telaah pengertian globalisasi. Ahli sosiologi Indonesia, Selo Soemardjan menyebut globalisasi sebagai terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antar masyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti sebuah sistem dan kaidah yang sama.
Sedangkan Anthony Giddens menjelaskan globalisasi sebagai intensifikasi hubungan sosial secara global yang menghubungkan satu lokasi dengan lokasi lainnya sehingga kejadian di satu tempat bisa berdampak juga bagi tempat yang lain.
Individu ditengah Globalisasi
Bagi seperti sudah mendarah daging karena setiap aktivitas, makanan, pakaian dan gaya hidup kita sudah terpengaruh oleh peradaban global. Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global.
Pernahkah kamu makan di restoran cepat saji yang menyajikan menu burger di kotamu? Burger diperkenalkan oleh imigran Jerman di Amerika Serikat kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Baca Juga: Kegiatan Ekonomi: Pengertian dan Contohnya
Atau mungkin hari ini, kamu tengah melihat penyanyi di situs YouTube. Penyanyi tersebut merekam lagunya di Korea Selatan. Diunggah di media berbagi video yang dikelola di Amerika Serikat. Lihat, betapa kompleksnya teknologi yang terlibat melibatkan orang dari banyak negara.
Globalisasi dalam bidang ekonomi juga membuat liberalisasi perdagangan barang. Masyarakat dengan mudah membeli barang produksi negara lain. Tak hanya barang, jasa layanan, dan komodit lain memberi peluang kepada Indonesia untuk ikut bersaing merebut pasar perdagangan luar negeri, terutama hasil pertanian, hasil laut, tekstil, dan bahan tambang.
Globalisasi dan Ekonomi Negara
Keterlibatan perekonomian negara lain bertujuan untuk mencapai sasaran pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sehingga suatu negara akan melakukan kerjasama dengan negara lain, baik di dalam satu kawasan maupun di kawasan internasional. Kita ketahui bersama bahwa tidak semua negara mempunyai sumber daya alam dan juga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi.
Solusi dari ketimpangan masing-masing negara adalah dengan melakukan pertukaran antar masing-masing. Pertukaran antara negara disebut sebagai perdagangan luar negeri (ekspor- impor).
Contohnya adalah negara Indonesia menjual barang komoditas yang diekspor berupa kelapa sawit kepada Tiongkok, sebaliknya Indonesia mengimpor barang komoditas motor dari Cina.
Selain itu peran masyarakat luar negeri adalah melakukan investasi pada perusahaan yang mengeluarkan obligasi, saham, maupun sekuritas lain, sehingga perusahaan tersebut dapat melaksanakan kegiatan produksi.
Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan ketika negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara.
Baca Juga: Bentuk Kerjasama Kegiatan Ekonomi dari Produksi, Distribusi, dan Pemasarannya
Globalisasi dalam bidang ekonomi mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang, dan jasa. Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat.
Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif. Sebaliknya, juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik. Hal tersebut tentu saja selain menjadi keuntungan, juga menjadi ancaman bagi kedaulatan ekonomi suatu negara.
Negara, berfungsi sebagai regulator atau pembuat undang-undang dan peraturan tentang perdagangan antar negara dalam lingkup globalisasi demi mensejahterakan rakyat.
Tentunya, sangat luas bahasan tentang globalisasi terkait ekonomi Indonesia. Tulisan ini membatasi secara singkat, globalisasi dan ekonomi Indonesia khususnya di pasar modal dan bank.
Pasar Modal dan Globalisasi Ekonomi
Indonesia telah lama melakukan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain. Sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, beberapa kerajaan di nusantara melakukan perdagangan rempah-rempah, kayu cendana, gaharu, dan berbagai hasil alam lainnya.
Pada jaman kolonial Belanda tahun 1912 didirikan pasar modal di Batavia, yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Tepatnya pada tanggal 14 Desember 1912, Amserdamse Effectenbueurs mendirikan cabang bursa di Batavia. Bursa ini merupakan bursa tertua keempat di Asia, setelah Bombay, Hongkong dan Tokyo.
Bursa yang dinamakan Vereniging voor de Effectenhandel, memperjualbelikan saham dan obligasi perusahaan/perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan pemerintah (propinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda lainnya.
Perkembangan perdagangan efek pada periode ini berlangsung marak, namun tidak bertahan lama karena dihadapkan pada resesi ekonomi pada tahun 1929 dan pecahnya Perang Dunia II (PD II).
Pada saat PD II, bursa efek di negeri Belanda tidak aktif karena sebagian saham-saham milik orang Belanda dirampas oleh Jerman. Hal ini sangat berpengaruh terhadap bursa efek di Indonesia. Keadaaan makin memburuk dan tidak memungkinkan lagi Bursa Efek Jakarta untuk beroperasi, sehingga pada tanggal 10 Mei 1940, Bursa Efek Jakarta resmi ditutup.
Baca Juga: Pengertian Bank, Fungsi dan Contohnya
Penutupan ini menyusul Bursa Efek Surabaya dan Semarang telah lebih dulu ditutup. Setelah tujuh bulan ditutup, pada tanggal 23 Desember 1940 Bursa Efek Jakarta kembali diaktifkan, karena selama PD II Bursa Efek Paris tetap berjalan, demikian pula halnya dengan Bursa Efek London yang hanya ditutup beberapa hari saja. Akan tetapi, aktifnya Bursa Efek Jakarta tidak berlangsung lama, karena Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, Bursa Efek Jakarta kembali ditutup.
Pada tahun 1947 pemerintah berencana untuk membuka kembali Bursa Efek Jakarta. Akan tetapi, rencana ini tertunda karena terhambat oleh situasi ekonomi yang memburuk. Sejak penyerahan kedaulatan kepada pemerintah RI oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, beban utang luar negeri dan dalam negeri kian membengkak sehingga menyebabkan defisit yang sangat besar.
Pemerintah kemudian pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 13. Tahun 1953 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 1952 yang mengatur tentang Bursa Efek. Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 289737/UU tanggal 1 November 1951 penyelenggaraan bursa diserahkan kepada Perserikatan Uang dan Efek-efek (PPUE). Bank Indonesia (BI) ditunjuk sebagai penasihat dan selanjutnya dipilih pengurus.
Selama tahun 1989 terdapat 37 perusahaan go public dan sahamnya tercatat (listed) di BEJ. Sedemikian banyaknya perusahaan-perusahaan yang mencari dana lewat pasar modal, sehingga pada masa itu masyarakat luas pun berduyun-duyun untuk menjadi investor. Pasar modal mengalami kemajuan yang pesat.
Perkembangan yang menggembirakan ini terus berlanjut dengan swastanisasi bursa. Berikutnya pada 16 Juni 1989, berdiri PT Bursa Efek Surabaya (BES). Pada 2 April 1991, berdiri Bursa Paralel Indonesia (BPI). Pada tanggal 13 Juli 1992, berdiri PT Bursa Efek Jakarta (BEJ), yang menggantikan peran Bapepam sebagai pelaksana bursa. Dan 22 Juli 1995, penggabungan Bursa Paralel dengan PT BES.
Tahun 2007, terjadi penggabungan antara Bursa Efek Surabaya (BES) ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).
Dengan penggabungan Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) akan memudahkan investor sehingga investor tidak harus datang ke beberapa bursa untuk menentukan pilihan investasinya. Hal ini dikarenakan bahwa sebelum penggabungan BEJ-BES, produk-produk acuan pasar modal berada di BEJ sedangkan produk-produk derivatifnya berada di BES.
Dalam fungsi ekonomi, pasar modal menyediakan fasilitas untuk mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (emiten).
Dengan adanya pasar modal, pihak yang memiliki kelebihan dana dapat menginvestasikan dana tersebut dengan harapan memperoleh keuntungan (return), sedangkan perusahaan (issuer) dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan investasi tanpa menunggu tersedianya dana operasional perusahaan.
Pasar modal di Indonesia memungkinkan uang dari luar negeri masuk ke Indonesia. Artinya, globalisasi dalam bidang ekonomi membuat investasi perorangan, perusahaan atau negara lain ke Indonesia menjadi lebih mudah dan cepat.
Globalisasi dan Pengaruhnya di Bidang Perbankan
Sama dengan pasar modal, Indonesia telah lama mengenal bank sebagai bagian dari perekonomian negara. Dilansir dari arsip Unit Khusus Museum Bank Indonesia, bangsa Indonesia mulai diperkenalkan dengan lembaga perbankan sejak berdirinya De Bank van Leening oleh bangsa Belanda. Kemudian setelah itu bermunculanlah bank-bank asing seiring dengan perkembangan perekonomian di Nusantara ini.
Perbankan Indonesia telah memiliki rangkaian sejarah yang cukup panjang. Sejak masa pemerintahan kolonial, telah banyak berdiri bank-bank asing baik dari negara Belanda maupun negara asing lainnya serta beberapa bank lokal.
Bahkan pada masa pergerakan nasional juga muncul beberapa bank yang bernuansa semangat nasional. Memasuki masa kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mulai mendirikan bank-bank pemerintah seperti Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Industri Negara (BIN), dan Bank Tabungan Pos.
Meruaknya pertempuran di antara Belanda dengan Indonesia akibat kolonialisme Belanda menimbulkan rasa kebencian di diri bangsa Indonesia. Meskipun beberapa kali dilakukan usaha damai di antara kedua belah pihak, namun setiap kali pula Belanda mengingkarinya. Sisa-sisa perasaan tidak suka terhadap Belanda yang masih membakar dada bangsa Indonesia, membuat semangat nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan Belanda semakin meluap, sehingga terjadi pengambilalihan atas perusahaan-perusahaan Belanda tersebut, termasuk juga menasionalisasi bank-bank Belanda.
Untuk itu, dikeluarkanlah Undang-Undang No. 86 tahun 1958 yang berlaku surut sampai 3 Desember 1957 untuk melegalisasi kegiatan nasionalisasi perusahaan Belanda.
De Javasche Bank yang didirikan pada tahun 1828, merupakan bank Belanda yang berhasil berkembang dan merupakan cikal bakal bank sentral Indonesia di kemudian hari. Bank Belanda lainnya seperti Nederlandsch Indische Escompto Maatschapij, Nederlandsch Indische Handelsbank, dan Nederlandsche Handel Maatschapij mulai beroperasi berturut-turut pada tahun 1857, 1864, dan 1883.
Bank Indonesia lahir setelah berlakunya Undang-Undang (UU) Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953. Sesuai dengan UU tersebut, BI sebagai bank sentral bertugas untuk mengawasi bank-bank.
Namun demikian, aturan pelaksanaan ketentuan pengawasan tersebut baru ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/1955 yang menyatakan bahwa BI, atas nama Dewan Moneter, melakukan pengawasan bank terhadap semua bank yang beroperasi di Indonesia, guna kepentingan solvabilitas dan likuiditas badan-badan kredit tersebut dan pemberian kredit secara sehat yang berdasarkan asas-asas kebijakan bank yang tepat.
Dari pengawasan dan pemeriksaan BI, terungkap berbagai praktik yang tidak wajar yang dilakukan, seperti penyetoran modal fiktif atau bahkan praktik bank dalam bank. Untuk mengatasi kondisi perbankan itu, dikeluarkan Keputusan Dewan Moneter No. 25/1957 yang melarang bank-bank untuk melakukan kegiatan di luar kegiatan perbankan.
Globalisasi dalam bidang ekonomi dan digitalisasi telah merubah dunia secara keseluruhan. Menghadapi digitalisasi ekonomi ke depan, para pengambil kebijakan, termasuk bank sentral, perlu memahami perubahan-perubahan pemikiran ekonomi sehingga dapat melakukan respons kebijakan secara tepat.
Di bidang perbankan, globalisasi mereda dan membuat digitalisasi perbankan semakin cepat bergerak. Apalagi, pandemi membuat interaksi antar orang menjadi sangat terbatas dan beralih ke sistem teknologi informasi.
Ada empat karakteristik meredanya globalisasi dan meningkatnya digitalisasi yaitu:
- Banyaknya negara yang mengandalkan internal (domestik) dalam merespons ketegangan perdagangan internasional.
- Arus modal antar negara dan nilai tukar yang semakin bergejolak.
- Bahwa respons kebijakan bank sentral tidak dapat mengandalkan suku bunga. Mandat bank sentral di beberapa negara tidak hanya menjaga inflasi tapi juga stabilitas sistem keuangan, sehingga kebijakan makroprudensial menjadi penting.
- Semakin maraknya digitalisasi di bidang ekonomi maupun keuangan