Jakarta, indomaritim.id – Kementerian Perindustrian mendorong industri batik dan kerajinan dapat ikut memanfaatkan teknologi modern dalam rangka mendongkrak produktivitas dan kualitas secara lebih efisien. Hal ini sesuai dengan implementasi program prioritas pada peta jalan Making Indonesia 4.0.
“Dengan proses produksi yang inovatif, efektif dan efisien, menjadikan pelaku industri selalu melakukan kreasi tiada henti, sehingga produktivitasnya akan meningkat dan akhirnya juga daya saingnya turut terdongkrak,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Doddy Rahadi di Jakarta, Minggu (11/10).
Menurut Kepala BPPI, perkembangan teknologi yang demikian cepat belakangan ini, terutama adanya revolusi industri 4.0, telah membawa perubahan luar biasa bagi sektor dunia usaha. “Teknologi telah menyentuh berbagai bidang dan berhasil mengubah perilaku manusia, termasuk pula dalam menyikapi pembuatan produk seperti pada kerajinan dan batik,” jelasnya.
Lebih lanjut, tak bisa dipungkiri bahwa setiap perkembangan teknologi selalu menjanjikan kemudahan, efisiensi, serta peningkatan produktivitas. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik yang cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat mesin otomatis dan teknologi modern.
“Meski begitu, kehadiran dan peran teknologi tidaklah mungkin menggantikan peranan manusia secara keseluruhan,” tegas Doddy. Sentuhan teknologi tersebut hendaknya tidak akan membuat suatu nilai budaya yang ada dalam produk kerajinan dan batik tersebut menjadi luntur, hilang, atau tergantikan.
“Jika teknologi yang digunakan dapat bersinergi dengan budaya lokal, maka penerapan teknologi tersebut akan memberikan dampak yang sangat positif, tentunya kinerja industri akan meningkat dan budaya lokal tetap terjaga,” imbuhnya.
Oleh karena itu, kearifan memadukan pada kemajuan teknologi di era industri 4.0 dengan keberlanjutan budaya bangsa diharapkan memberi nilai tambah produk kerajinan dan batik nasional yang basisnya adalah keterampilan keempuan (craftmanship). “Semua ini mempunyai tujuan agar industri kerajinan dan batik yang berbasis budaya lokal akan tetap berjaya di negeri sendiri, tak lekang oleh perubahan zaman,” terang Doddy.
Di sisi yang lain, tentu semua upaya tersebut tidak akan mengabaikan terhadap isu lingkungan. Dalam hal ini, sektor industri kerajinan dan batik hendaknya menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan, seperti bahan-bahan yang berasal dari sumber alam terbarukan.
“Guna mencapai sasaran-sasaran tersebut, beberapa waktu lalu, Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Yogyakarta selaku unit kerja di bawa binaan BPPI, telah menyelenggarakan Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik (SNIKB) II tahun 2020 dengan mengusung tema Peran Teknologi 4.0 dalam Pengembangan Industri Batik dan Kerajinan,” paparnya.
Industri Batik dan Kerajinan Untuk Pemulihan Ekonomi Nasional
Kepala BPPI optimistis, melalui pemanfaatan teknologi terkini, industri batik dan kerajinan akan mampu memberikan kontribusi signfikan terhadap pemulihan ekonomi nasional karena dampak pandemi Covid-19. “Industri kerajinan dan batik harus mampu juga beradaptasi dengan kebiasaan baru saat ini atau berbagai perubahan karena dampak pandemi,” ujarnya.
Untuk itu, cara berpikir kreatif dan inovatif melalui pemanfaatan teknologi dan optimalisasi sumber daya yang ada, diyakini produktivitas dapat terus bergerak serta berkontribusi positif bagi perekonomian nasional. Apalagi, industri batik merupakan salah satu sektor yang cukup banyak membuka lapangan pekerjaan. Sektor yang didominasi oleh industri kecil dan menengah (IKM) ini tersebar di 101 sentra seluruh wilayah Indonesia.
“Industri batik mendapat prioritas pengembangan selain karena berbasis budaya lokal, juga dinilai mempunyai daya ungkit besar dalam penciptaan nilai tambah, dampaknya transaksi perdagangan, besaran investasi, dampak terhadap industri lainnya, serta kecepatan penetrasi pasar,” sebut Doddy.
Produk batik cukup berperan dalam perolehan devisa negara melalui capaian nilai ekspor pada tahun 2019 sebesar USD17,99 juta. Sementara itu, pada Januari-Juli 2020, nilai pengapalan batik mengalami peningkatan dengan mencapai USD21,54 juta. Tujuan utama pasar ekspornya ke Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.
Sedangkan, untuk industri kerajinan, jumlahnya lebih dari 700 ribu unit usaha dengan menyerap tenaga sebanyak 1,32 juta orang. Pada tahun 2019, nilai ekspor produk kerajinan nasional menembus hingga USD892 juta atau meningkat 2,6% dibandingkan perolehan tahun 2018 sebesar USD 870 juta.
Kepala Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Yogayakarta, Titik Purwati Widowati menyampaikan, pihaknya bertekad untuk mendorong terciptanya ide dan inovasi baru dalam pengembangan industri batik dan kerajinan di tanah air. “Kami berharap, adanya pemanfaatan teknologi modern, nantinya dapat berkembang menjadi produk yang kompetitif di kancah global sekaligus mendukung proses industri dari hulu hingga hilir,” tuturnya.
Untuk menyikapi berbagai tantangan serta dinamika di era revolusi Industri 4.0, menurut Titik, langkah-langkah kolaboratif perlu dilakukan dengan melibatkan beberapa pemangku kepentingan, mulai dari institusi pemerintahan, asosiasi dan pelaku industri, hingga unsur akademisi dan media. “Kami aktif mempublikasikan berbagai hasil penelitian dan pengembangan yang terkait industri kerajinan dan batik melalui program seminar atau yang lain,” pungkasnya.
Reporter: Mulyono Sri Hutomo
Editor: Rajab Ritonga