Jakarta, indomaritim.id – Industri pengalengan ikan merupakan salah satu sektor yang mendapat keberkahan di tengah pandemi Covid-19. Sebab, permintaan terhadap produk olahan di sektor tersebut cenderung semakin meningkat khususnya untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat.
“Stok nasional untuk produk sarden dan makarel kaleng saat ini berjumlah 35 juta kaleng. Selain diserap melalui pasar ekspor, ritel dan online, olahan ikan kaleng dapat dimanfaatkan sebagai salah satu produk bantuan sosial yang memenuhi kebutuhan protein masyarakat,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim di Jakarta, Jumat (24/4/2020).
Kemenperin mencatat, hingga kini terdapat 718 unit usaha pengolahan ikan yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Jumlah produksi sektor pengolahan ikan ini mencapai 1,6 juta ton pada tahun 2019, meningkat 300 ribu ton dibanding tahun 2016. “Untuk nilai ekspornya, sektor industri ini juga meningkat pada tahun 2019 menjadi USD4,1 juta,” ungkap Rochim.
Menurut Dirjen Industri Agro, industri pengolahan ikan masuk dalam kategori sektor padat karya dan berorientasi ekspor. Oleh karena itu, perlu mendapat prioritas pengembangan. “Setidaknya sektor ini telah mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 336 ribu orang. Dengan tidak adanya kendala supply bahan baku perikanan lokal, maka penyerapan tenaga kerja dapat dioptimalkan,” paparnya.
Meskipun mencatatkan kinerja yang positif, industri pengalengan ikan juga menghadapi berbagai tantangan terhadap dampak pandemi Covid-19. Tantangan tersebut, antara lain kenaikan harga kaleng, pasta saus dan terigu pengental yang diimpor serta berkurangnya bahan baku ikan yang diimpor dari negara yang memberlakukan lockdown.
“Ekspor olahan ikan ke negara yang terkena wabah Covid-19 juga mengalami gangguan akibat operator shipping yang belum beroperasi normal dan pihak buyer menunda pembelian sehingga stok menumpuk di cold storage,” tuturnya.
Oleh karena itu, guna menjaga keberlangsungan usaha bagi industri pengalengan ikan di dalam negeri, Kemenperin memandang sektor ini perlu mendapat stimulus. “Misalnya, stimulus berupa soft loan, relaksasi perizinan, pembebasan bea masuk bahan baku, dan program peningkatan konsumsi dalam negeri untuk menyerap produk jadi ini,” sebut Rochim.
Kemenperin telah mengusulkan berbagai kebijakan untuk mengawal sektor industri makanan dan minuman sehingga dapat memperoleh kemudahan dalam berproduksi khususnya di masa darurat Covid-19. “Kami mengusulkan pos tarif pembebasan bea masuk impor dalam rangka penanganan dampak Covid-19 yang ada pada stimulus jilid II,” ujarnya.
Selain itu, terdapat juga kebijakan berupa relaksasi penerapan SNI wajib melalui Surat Edaran Menteri Perindustrian Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pengecualian Sementara Penambahan Zat Fortifikan pada Tepung Terigu dan SE Menperin No. 6 Tahun 2020 tentang Pengecualian Sementara Kandungan Vitamin A dan/atau Provitamin A pada Minyak Goreng Sawit.
Kemenperin memproyeksikan bahwa sektor industri makanan dan minuman akan tetap tumbuh di tengah dampak pandemi Covid-19. “Kami memperkirakan pertumbuhan sektor industri makanan dan minuman berada di angka 4 sampai 5 persen, ini sudah cukup bagus,” tegasnya.
Lebih lanjut, industri makanan dan minuman merupakan salah satu sektor yang mendapatkan izin untuk beroperasi selama pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang diterapkan di sejumlah wilayah Indonesia. Dengan demikian, industri ini dapat tetap beraktivitas dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
“Kami tetap mendorong agar industri dapat melakukan aktivitas produksinya dengan memperhatikan aspek keselamatan kerja sesuai prosedur dan protokol kesehatan dalam menghadapi wabah Covid-19,” pungkasnya.
Reporter: Mulyono Sri Hutomo
Editor: Rajab Ritonga