Karno Raditya, eks Wartawan Harian Angkatan Bersenjata
Sebagaian besar wartawan era 1990-2010 yang tergabung dalam korps wartawan seksi Hankam/ABRI, pernah berlayar dengan kapal perang terbesar TNI AL di masa itu: KRI Arun. Pasalnya, kapal berbobot 11.520 ton yang bergabung dengan Armada RI tahun 1992 itu sering menjadi kapal markas: tempat pimpinan teras ABRI (sekarang TNI) berkegiatan di lautan. Wartawan pun ikut di sana, melakukan liputan, seperti Latihan Bersama ABRI, Latihan Gabungan ABRI, maupun pelayaran ke pulau-pulau terdepan pada Operasi Surya Baskara Jaya.
Tentu saja banyak kenangan manis saat berlayar dengan KRI Arun, sebab wartawan menghabiskan waktu paling sedikit 10 hari berlayar, bahkan ada yang sampai tiga bulan: keliling Indonesia, berpatroli dari Indonesia barat hingga ke timur. Saya sendiri, sebagai wartawan Harian Angkatan Bersenjata sering berlayar dengan KRI Arun pada berbagai kesempatan.
Kapal tangker itu dikenal angker dengan berbagai cerita misteri yang dituturkan sejumlah anak buah kapal (ABK). Maklum, kapal yang panjangnya 140,6 meter dan lebar 19,2 itu merupakan veteran Perang Malvinas (Falkland) saat berdinas di Angkatan Laut Inggris. Selain sebagai kapal suplai, saat itu kapal difungsikan sebagai kapal rumah sakit. Konon, banyak pelaut meregang nyawa di sana dalam kecamuk perang antara Inggris dan Argentina.
Kisah hantu di kapal tangker itu muncul setelah berakhirnya Perang Malvinas yang berlangsung selama kurang lebih empat bulan, Maret hingga Juni 1982. Falkland merupakan koloni Inggris di kawasan Samudera Atlantik Selatan, tepatnya di sebelah tenggara Amerika Selatan. Bangsa Argentina menyebut kepulauan Falkland dengan Malvinas. Perang Falkland berawal dari invasi Argentina ke Falkland yang diklaim milik mereka. Inggris murka dan mengirim armada perang, salah satunya KRI Arun yang saat itu bernama RFA Green Rover dengan nomor lambung A268.
Selama perang Green Rover menjadi kapal rumah sakit terapung, menampung mayat korban perang. Tak heran jika sejumlah anak buah kapal (ABK) KRI Arun sering kepergok hantu bule di sekoci dan buritan kapal. Cerita hantu itu membuat para wartawan: Marchel (Suara Pembaruan), Rajab Ritonga (LKBN Antara), Seno Atmodjo (Berita Buana), Solihul Hadi (Indosiar), Kasman (Berita Yudha), Imam Pamujo (Pos Kota), Basori (Pelita), dan saya (Karno Raditya), ketar-ketir bila berkeliaran di malam hari.
Meski coba memberanikan diri saat bersantai di sisi lambung kiri atau kanan kapal, atau kadang di buritan, namun keberanian kami tak lebih dari pukul 21.00. Sebab, lewat dari jam tersebut, menimbulkan rasa yang kurang nyaman dengan adanya bunyi-bunyian tertentu. Maklum, suasana di laut lepas, sepanjang mata memandang ke sisi kanan atau kiri yang ada hanya suara deburan ombak dan semilir angin, membuat bulu kuduk berdiri. Jika sudah demikian, kami pun sepakat sama-sama mengakhiri acara ngerumpi dan memutuskan balik ke kamar. Sejauh itu para wartawan memang tidak pernah bertemu dengan hantu bule. Mungkin hantu itu hanya mitos.
Saking seringnya berlayar bersama KRI Arun, kami pun makin banyak mendapatkan kawan baru para perwira TNI-AL yang kemudian menjadi perwira tinggi terkemuka di masanya, seperti Laksamana Widodo AS, Laksamana Achmad Sutjipto, Laksamana Bernard Kent Sondakh, ketiganya kemudian menduduki jabatan sebagai kepala staf TNI AL (Kasal).
Tak asing juga bagi kami para perwira TNI-AL lainnya, seperti Mayjen (Marinir) Joko Pramono, kemudian menjadi Komandan Korps Marinir, Laksamana Muda Mualimin Santoso kemudian jadi Pangarmabar, Laksamana Muda Yayun Riyanto yang selalu kami sebut penguasa Juanda, karena beliaulah yang punya armada pesawat udara. Ada juga Laksamana Muda Rosihan Arsyad, yang sempat jadi Kepala Staf Armada Barat kemudian menjadi Gubernur Sumatera Selatan dan Mr Black, nama panggilan Laksamana Madya Soemartono, terakhir jadi Irjen Dephankam.
Selama dalam pelayaran di KRI Arun, perwira penerangan yang paling sering mendampingi para wartawan adalah Kolonel Laut Abdul Kadir. Kala itu kami memanggilnya Letnan Kadir. Karena memang pangkatnya saat itu letnan satu. Selain Kolonel Kadir ada juga Kolonel Laut Agus Cahyono yang saat itu juga berpangkat letnan satu.
Untuk menghabiskan waktu sepanjang perjalanan mengarungi lautan, dari Timur ke Barat, dan kembali ke Timur, bebagai rutinitas yang kami lakukan selama di dalam kapal usai membuat berita, adalah menonton film di lounge room perwira. Ruangan ini bisa dimasuki oleh wartawan karena dalam pelayaran status wartawan disetarakan sebagai perwira.
Di ruangan itu pula kami selalu bersantap pagi, siang dan malam bersama para perwira kapal. Tidak ada perbedaan menu antara wartawan dan perwira, semua sama rata sama rasa. Inilah indahnya kebersamaan selama di samudera luas. Peraturan harus ditegakkan dan dipatuhi. Termasuk jatah makan. Nasi boleh nambah, tetapi lauk tetap satu. Lantas kalau sayur?
Ini soal cerita sop kepala. Suatu ketika seorang perwira mengatakan, “Menu makan malam hari ini adalah ayam goreng dan sop kepala”. Pikiran langsung melayang, membayangkan sop kepala ikan, atau sop kepala kambing. Saat makan malam tiba, semua sudah duduk di tempatnya, tertib sesuai aturan: ambil piring, sendok, nasi, satu lauk ayam goreng. Namun ketika membuka panci sop: tidak ditemukan apa-apa kecuali kuah.
Saat itu saya berada di meja urutan ke-12. Kebetulan perwira yang mengumumkan menu makan malam berada di belakangku. Sejenak aku menoleh dan setengah berbisik menanyakan soal sop kepala. Perwira tersebut mengatakan, “Coba lihat sekali lagi di panci itu, yang Anda lihat apa?”. Spontan aku jawab, cuma bayangan kepalaku saja.
Dengan senyum mengatakan, “Lha iya itu maksud saya sop kepala. Kepala kita, lha wong sop cuman airnya saja, gak ada isinya,” tegasnya. Spontan aku mengumpat dengan gaya Surabayaan. Saking lamanya berada di laut, rupanya perbekalan untuk membuat sayur sop sudah menipis.
Pernah suatu ketika sampai kami di titik jenuh karena kelamaan di laut, kami pun mencari akal bagaimana caranya supaya bisa mendarat sejenak. Bosan dengan menu harian di kapal yang ayamnya sudah kelamaan di frizer, maka cara yang efektif adalah membujuk komandan kapal dengan alasan mau mengirim berita.
Maklum kala itu belum ada ponsel, belum ada internet. Kalau kirim berita pun mengunakan saluran satelit yang ada di KRI Arun yang penggunaannya terbatas. Suatu ketika, saya bersama wartawan Indosiar, SCTV dan TVRI membujuk komandan kapal agar kami diterbangkan ke darat untuk mengirim kaset berita televisi.
Padahal itu hanya rekayasa semata. Di KRI Arun memang ada helikopter. Komandan KRI Arun pun memerintahkan pilot untuk membawa wartawan ke daratan. Sampai di darat kami hanya makan bakso. Selang tiga jam kemudian kami kembali ke KRI Arun.
Masih cerita cerita dari KRI Arun. Karena merasa jenuh kelamaan di dalam kapal, suatu ketika kami bertemu dengan komandan Pangkalan Udara TNI AL (Lanudal) Surabaya, Laksamana Pertama Yayun Riyanto. Saya melobi Pak Yayun agar setelah tugas liputan selesai, wartawan dikembalikan ke Jakarta menggunakan pesawat udara, sebab kalau kembali dengan KRI Arun butuh waktu lebih lama lagi. Maklum kecepatan KRI Arun hanya 17 knot. Berkat lobi yang apik, Laksma Yayun memperintahkan Mr Black, alias Mayor Soemartono yang tidak bisa menolak perintah.
Ketika itu kami melihat ada raut tidak nyaman di wajah Mr Black. Kami berfikir, pasti gara gara wartawan ia mendapat tambahan tugas. Melihat situasi yang tak memungkinkan itu, saya dan Solihul Hadi spontan mengambil inisiatif. “Kita wawancarai dia, nanti saya buat profil satu halaman di Angkatan Bersenjata. Terus kamu juga wawancara dia,” pintaku sama Solihul Hadi.
“Kasetku habis gak ada yang kosong,” jawab Solihul Hadi.
“Wes etok-etok aja (pura-pura), yang penting dia senang,” pintaku
Kami pun mewawancarai Mayor Soemartono. Solihul Hadi pasang aksi dengan mikrofon padahal tidak ada kasetnya. Mayor Soemartono tidak paham itu. Dengan sigap dan senang dia menjawab semua pertanyaan seputar keberadaan pesawat TNI-AL, termasuk pesawat Nomad yang baru diterima dari Australia.
Dalam pelayaran lainnya, KRI Arun menyimpan persahabatan wartawan dengan ABK. Saat itu KRI Arun sebagai markas Latgab di Natuna dengan komandan Latgab, Pangkostrad Letjen TNI Wiranto. Tidak semua wartawan seksi Hankam/ABRI bermarkas di KRI Arun, sebagian wartawan lainnya bermarkas di darat. Sebelum saya dan rombongan wartawan yang bermarkas di KRI Arun bergabung dengan wartawan di darat, bintara kesehatan (bakes) KRI Arun, Mr. Tumiran memberikan bingkisan berupa mutiara kepada sejumlah wartawan. Mutiara asli tersebut tergolong mahal, tapi itulah ketulusan Sersan Tumiran yang sayang kepada wartawan. Sampai sekarang saya masih menyimpan mutiara tersebut.
Tentu banyak lagi kenangan yang tersimpan bersama KRI Arun, kapal buatan galangan Swan Hunter tahun 1969 yang dijual ke Indonesia tahun 1992 dan kini tetap bertugas di satuan kapal bantu Komando Armada II.
Saat berada di jajaran Angkatan Laut Inggris, KRI Arun bernama RFA Green Rover dengan nomor lambung A268. Kode A di depan nomor lambungnya merupakan petanda kapal itu berada dalam satuan kapal bantu: Royal Fleet Auxiliary (RFA).
KRI Arun merupakan kapal tanker ringan untuk menyalurkan bahan bakar cair dan minyak (BCM) serta munisi ke kapal-kapal kombatan. KRI Arun dapat memuat sampai 22.000 meter kubik bahan bakar solar dan 3.800 meter kubik avtur. Kapal ini mampu melakukan pengisian bahan bakar di laut (peplenishment at sea) secara bersamaan kepada dua kapal perang.