Keseimbangan Karakter Adalah KunciI Identitas Anak Islam Indonesia

oleh
Dr. Darmansjah Djumala, Duta Besar/Wakil Tetap RI di Wina memberikan sambutan

Wina, indomaritim.id –  “Penting bagi orang tua untuk menanamkan nilai agama (Islam) agar anak berakhlakul karimah, juga nilai Kebangsaan (Pancasila) agar anak menjadi pribadi yang tetap memegang nilai keindonesiaan yang moderat, toleran, dan menghargai keberagaman. Tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan dan mensinergikan kedua nilai itu: nilai Islam yang tertampung dalam Pancasila, dan nilai Pancasila yang sesuai dengan ajaran Islam” pesan Dr. Darmansjah Djumala, Duta Besar atau Wakil Tetap RI di Wina dalam sambutan pembukaannya pada acara kajian online Ramadhan 1442 H yang diselenggarakan KBRI atau PTRI Wina berkolaborasi bersama Warga Pengajian Austria (Wapena).

Kajian dengan tema “Membangun Karakter Keislaman dan Keindonesiaan Anak Muslim Indonesia di Negara Barat” diselenggarakan melalui platform Zoom dan Youtube Live pada tanggal 9 Mei 2021 di Wina, Austria. Sebagai narasumber tunggal acara kajian adalah Ustadz dan intelektual muslim Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation di Amerika Serikat (AS), yang tengah membangun pesantren pertama di AS, yaitu Pesantren Nur Inka Nusantara Madani di Connecticut, AS.

Kajian online tersebut yang telah menarik sekitar 80 peserta dari Austria, Slovenia, termasuk peserta dari Indonesia, adalah sebagai bentuk dukungan KBRI/PTRI Wina terhadap rangkaian kegiatan organisasi kemasyarakatan Islam di Austria selama bulan Ramadhan 1442 H yang diantaranya juga menampilkan narasumber ternama Indonesia seperti K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), Ust. Syahroni, dan Ust. Salim A. Fillah.

Disampaikan moderator Sugeng Haryanto, Ketua Dewan Musyawarah Wapena, bahwa ide orisinil kajian online adalah langsung dari Duta Besar RI Dr. Darmansjah Djumala. “Pengalaman Dubes Djumala di Kemlu bertugas di berbagai Negara Barat menjadikan beliau memiliki perhatian khusus terhadap proses pembentukan karakter Keislaman dan Keindonesiaan anak-anak Indonesia di luar negeri.” tutur Sugeng.

Dubes RI dalam sambutannya menyoroti adanya tantangan bagi orang tua yang mendidik anaknya di Negara Barat, karena  menghadapi “double handicap”, yaitu secara kultural dan secara spiritual yang menimbulkan “Cultural Confusion” (kegalauan budaya) yang memerlukan peran penting orang tua dalam menyikapinya. “Secara kultural adanya perbedaan nilai antara ajaran ketimuran di rumah dengan nilai nilai barat, dan secara spiritual antara ajaran Islam yang kadang tidak paralel saat mereka harus berinteraksi sosial dengan nonmuslim” lanjut Djumala.

Dalam kajiannya, Imam Shamsi Ali menyoroti bahwa karakter Keislaman dan Keindonesiaan tidak perlu kita pertentangkan, karena keduanya memang sesuai satu sama lain. Terdapat dua kemungkinan bagi diaspora di luar negeri, yaitu semakin hilangnya nilai keislaman namun tetap menjaga keindonesiaannya, sebaliknya juga ada kemungkinan lunturnya juga keindonesiaan. “Ketika Islam sampai ke suatu tempat, Islam tidak pernah bertujuan menghapus kultur dan kebiasaan setempat selama tidak bertentangan dengan Islam. Orang Indonesia perlu membangun percaya diri dengan karakter Islam Indonesia.” jelas Imam Shamsi.

Sejalan dengan “Cultural Confusion” yang disampaikan Djumala, Imam Shamsi juga menggarisbawahi pentingnya menjaga agar anak-anak tidak terperangkap di tengah sehingga mereka merasa termarjinalkan di masyarakat setempat dan ketika kembali ke rumah mereka merasa kurang islami karena penekanan yang terlalu kuat pada aspek budaya Islami. Pada akhirnya mereka akan memberontak.

Untuk itu Imam Shamsi memaparkan sembilan langkah dalam upaya menjawab tantangan ini, yaitu antara lain: membangun visi keluarga yang menjadi acuan pendidikan anak; mengimbangi ilmu fikih dan ilmu realita tempat kita tinggal; perlunya bijaksana dalam mendidik anak dengan strategi yang benar seiring dengan usia mereka; memulai sejak dini membangun karakter anak; menekankan kasih sayang dalam mendidik anak seperti yang diteladani Nabi Muhammad SAW; menjaga konsistensi dalam mendidik karakter anak; orang tua agar menjadi “role model” yang dibanggakan anaknya; dan orang tua agar senantiasa mendoakan anaknya untuk mendapat lindungan dan hidayah dari Allah SWT.

Diangkat juga oleh Imam Shamsi Ali akan perlunya menjadikan Rumah sebagai “3 M”, yaitu sebagai “Madrasah” tempat belajar pertama anak sejak dini. Kedua adalah sebagai “Masjid” yaitu tempat bersujud guna membangun ketaatan kepada Allah, orang tua, dan peraturan serta ketentuan di masyarakat. Dan terakhir adalah sebagai “Musallah” atau “entertainment center” yang menjadikan anak terhibur, nyaman, dan tenang di rumah, sehingga tidak berkeinginan keluar rumah untuk mencari “entertainment”.

Pada kesempatan sesi tanya jawab kajian virtual di 10 hari terakhir Ramadhan 1442 H tersebut tercatat minat partisipasi masyarakat yang tinggi antara lain membahas mengenai pentingnya anak-anak untuk menjaga identitasnya namun tetap menjadi bagian dari dinamika negara yang dimukimi tanpa harus hanyut di dalamnya dan dibahas juga mengenai arti penting “Tawazun” (keseimbangan) dalam mendidik anak kita yang dituntut untuk memiliki kebebasan yang bertanggungjawab. Imam Shamsi juga garisbawahi bahwa setiap bangsa memiliki keunggulan masing-masing yang dapat dibagi kepada Negara lain dengan membangun jembatan pengertian diantaranya. Multilateralisme di atas unilateralisme.

Terkait perbedaan nilai nilai di dunia barat dengan Keislaman dan Keindonesiaan, Imam Shamsi berpesan dengan mengibaratkan negara barat seperti rumah nyaman namun di depannya ada sungai berbahaya yang dalam dan deras. Terdapat tiga pilihan bagi kita sebagai orang tua yaitu melarang anak keluar rumah, memagari sungai semampu kita, atau mengajari anak kita untuk berenang dan menjaga dirinya sendiri dari ancaman lingkungannya.

Reporter: Zeynita Gibbons

Editor: Haresti Amrihani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *