Kuasai Pasar Petrokimia Domestik, Pertamina Siapkan Strategi Khusus

oleh
Kuasai Pasar Petrokimia Domestik, Pertamina Siapkan Strategi Khusus
Kuasai Pasar Petrokimia Domestik, Pertamina Siapkan Strategi Khusus

Jakarta, indomaritim.id – Petrokimia merupakan industri strategis yang mendukung pertumbuhan industri lain karena menjadi bahan baku bagi banyak produk pendukung sektor kehidupan. Dalam waktu 10 tahun terakhir, kebutuhan nasional produk petrokimia memang sangat besar dan terus meningkat rata-rata 5 persen setiap tahunnya.

Kebutuhan industri petrokimia nasional misalnya, polypropylene sekitar 1,75 juta ton per tahun, polyethylene 1,8 juta ton per tahun, paraxylene 1 juta ton per tahun, serta benzene sekitar 350 ribu ton per tahun. Untuk kebutuhan tersebut, sebagian masih dipenuhi melalui impor.

Pasar petrokimia saat ini masih sangat terbuka luas dengan aspek komersial yang menarik mendorong Pertamina menyiapakan strategi bisnis di sektor ini.

“Pertamina optimistis mampu mengembangkannya bahkan menguatkannya menjadi salah satu pilar bisnis utama. Kami memiliki competitive advantages yang jelas, karena sudah lama berkecimpung di bisnis ini. Sumber daya perusahaan sudah sangat siap, infrastrukturnya pun bisa diintegrasikan dengan bisnis minyak dan gas,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sebagaimana dinukil dari Energia.

Orang nomer satu di Pertamina ini menambahkan, Pertamina telah memiliki rentang panjang pengalaman dalam memproduksi petrokimia sejak tahun 1970-an melalui kilang Plaju, kemudian bertambah di Kilang Cilacap dan balongan.

Terdapat dua bahan baku utama petrokimia yang diproduksi oleh Pertamina, yakni Olefin dan Aromatics. Olefin sendiri menghasilkan produk berupa Propylene dan Polypropylene yang digunakan untuk pembuatan tekstil, cat, lem, furnitur dan bahan automotif.

Baca Juga: Profil Tesco Indomaritim di Industri Maritim Indonesia

Sementara Aromatics terdiri dari Benzene dan Paraxylene. Benzene menjadi bahan baku untuk plastik, fiber sintetis, benang nilon yang digunakan untuk pembuatan ban, dan bahan baku pembuatan sabun dan deterjen. Sedangkan Paraxylene bisa untuk Polyester Fiber yakni bahan baku untuk industri tekstil, ban, seatbelt hingga jaket tahan panas.

Menurut Nicke Widyawati, semua produk tersebut diproses dengan feedstock yang berasal dari minyak mentah.

“Hanya Pertamina satu-satunya produsen petrokimia di Indonesia yang memiliki dan mengelola sendiri feedstock-nya yaitu minyak mentah dan gas dari bisnis upstream migas wilayah kerja Pertamina. Sehingga sangat relevan dan dapat menjamin keberlangsungan proses bisnis petrokimia,” ujarnya.

Strategi Pertamina Maksimalkan Kilang Petrokimia

Saat ini Pertamina terus mengoptimalkan kilang-kilang petrokimia yang ada baik itu kilang Plaju yang menghasilkan polypropylene, kilang Cilacap yang menghasilkan propylene, paraxylene, toluene dan benzene.

Juga kilang Pertamina di Balongan yang menghasilkan propylene maupun kilang kerja sama dengan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) yang menghasilkan paraxylene, benzene dan toluene.

Pertamina juga menunjukkan keseriusannya dalam menggarap petrokimia melalui percepatan proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR), yaitu pembangunan kilang baru yang terintegrasi dengan kilang petrokimia serta dapat diubahnya mode produksi untuk pengolahan petrokimia.

Strategi produksi ini ditambah lagi dengan strategi bisnis korpurasi Pertamamina denga upaya inorganic growth melalui akuisisi maupun strategic partnership di kilang-kilang lainnya.

Untuk mempercepat semua hal ini terjadi, Pertamina membuka ruang untuk dapat bermitra dengan mitra strategis yang terpercaya dan berpengalaman. Totalinvestasi yang dibutuhkan untuk pengembangan bisnis petrokimia ini diproyeksikan hingga tahun 2026 sebesar US$9,2 miliar.

“Kami bertekad menjadi pemain besar dan pemimpin pasar domestik dalam kurun waktu 6 tahun ke depan. Untuk itu, kami serius menggarap rencana serta strategi roadmap petrokimia,” kata Nicke Widyawati.

“Dengan memiliki dan mengelola feedstock sendiri serta adanya pembangunan kilang petrokimia yang dilakukan secara masif di Tuban, balongan, Dumai, Cilacap serta pemanfaatan kilang milik pemerintah, kami pastikan kebutuhan bahan petrokimia dalam negeri bisa terpenuhi dan optimis dapat memutus impor bahan, dan kelak akan mengekspor petrokimia ke luar negeri,” lanjutnya.

Saat ini, business share Pertamina sekitar 11 persen dengan produksi bahan baku petrokimia Pertamina yaitu olefin dan aromatic sekitar 1.000 kilo ton per tahun (ktpa).

Baca Juga: Arab Saudi Akan Investasi 84 Triliun di Sektor Industri Petrokimia

Namun sesuai dengan roadmap petrokimia Pertamina, pada tahun 2026 Pertamina yakin business share akan melonjak menjadi lebih dari 45% dengan produksi meningkat 10 kali lipat menjadi 10.000 ktpa. Dengan ukuran ini, sangat mungkin Pertamina diakui menjadi pemimpin industri petrokimia di Indonesia.

Dan dengan peningkatan volume produk secara signifikan, maka Pertamina proyeksikan dapat berkontribusi terhadap penghematan devisa negara sekitar USD3,8 miliar per tahun.

Siapkan Investasi Miliaran Dollar Untuk Garap Pasar Petrokimia

Untuk mewujudkan cita-cita menjadi pemimpin pasar domestik, Pertamina agresif mempercepat pembangunan kilang petrokimia, diantaranya melalui proyek RDMP dan GRR maupun kilang standalone lainnya, beberapa bahkan sudah masuk dalam proses konstruksi, seperti di kilang Tuban.

Proyek GRR ini bermitra dengan Rosneft dan ditargetkan akan beroperasi mulai 2026. Dengan investasi US$16 miliar, fasilitas produksi petrokimia ini akanmenghasilkan produk polypropylene sebanyak 1.205 ktpa, paraxylene 1.317 ktpa dan polyethylene 750 ktpa.

Masih di Tuban, kerjasama Pertamina dengan TPPI juga akan ditingkatkan melalui investasi sebesar US$5,1 miliar untuk pembangunan tambahan Olefin Unit dengan kapasitas produksi ethylene mencapai 1.000 ktpa.

Saat ini kilang TPPI tersebut mampu menghasilkan produk Paraxylene sebanyak 620 ktpa dan Benzene sebanyak 130 ktpa. Pertamina pun optimis untuk meningkatkan kontribusinya dengan masuk di kepemilikan saham perusahaan induknya, yaitu PT Tuban Petrochemical Industries, agar bisa semakin agresif mengembangkan bisnis petrokimia dan mengoptimalkan seluruh kilang pemerintah yang ada.

Selain itu, Pertamina juga menjalin kerja sama dengan China Petroleum Corporation (CPC) Taiwan untuk pengembangan proyek komplek Petrokimia dengan nilai kerja sama sebesar US$ 6,49 miliar. Kerjasama ini ditandatangani pada kegiatan Indonesian Investment Forum (IIF) di Bali, 11 Oktober 2018 lalu.

“Nilai investasi ini merupakan investasi terbesar pada program Investasi bUMN untuk Negeri. Ini menunjukkan bahwa Pertamina serius dan akan fokus menggarap bisnis masa depan ini,”ungkap Nicke.

Kerja sama Pertamina dan CPC Taiwan dilakukan dalam bentuk pembangunan pabrik Naphtha Cracker dan unit pengembangan sektor hilir Petrokimia berskala global di Indonesia. Pabrik Naphtha Cracker nantinya dapat menjadi substitusi impor sehingga berpotensi menghemat devisa negara hingga US$ 2,4 miliar per tahun.

Terintegrasi dengan kilang Pertamina, proyek ini diharapkan mulai beroperasi tahun 2026 dengan skema joint venture antara Pertamina, CPC Taiwan dan beberapa mitra hilir potensial lainnya.

“Pabrik tersebut diharapkan mampu memproduksi paling sedikit satu juta ton ethylene per tahun dan membangun unit hilir yang akan menghasilkan produk turunan kilang lainya untuk memenuhi kebutuhan industri di Indonesia,”ujar Nicke.

Langkah BUMN ini untuk menjadi pemain utama Petrokimia juga dilakukan dengan pada kilang Pertamina lainnya. Di Dumai, Pertamina bersinergi dengan Inalum akan membangun calciner plant dengan kapasitas 300 ktpa, memproses green petcoke (GPC) menjadi calcined petcoke (CPC) yang digunakan sebagai bahan baku pengurai aluminium, pelebur baja, dan bahan bakar industri semen dan pembangkit listrik.

Sementara di Kilang Cilacap, Pertamina juga berencana membangun processing plant yang akan mengubah Minarex menjadi Treated Destillate Aromatic Extract (TDAE) yang digunakan untuk industri ban.

Selanjutnya, Pertamina juga mengembangkan dua proyek kilang gasifikasi batubara menjadi DME (Dimethyl Ether). Namun selain menghasilkan DME, kedua kilang ini diharapkan juga menghasilkan produk petrokimia seperti Polypropylene, Urea dan Methanol.

Untuk pembangunan kilang di Peranap, Riau, Pertamina bekerjasama dengan PT. bukit Asam serta Air Products & Chemical dan diproyeksikan kilang memiliki kapasitas produksi DME (300 – 1.400 kta), Methanol (300 – 1.000 kta), dan Monoethylene Glycol (250 – 550 kta).

Sedangkan pembangunan kilang di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, Pertamina bekerjasama dengan PT. Bukit Asam, PT. Pupuk Indonesia, dan PT. Chandra Asri Petrochemicals dengan proyeksi produksi DME (400 kta), Polypropyelene (450 kta) dan Urea (570 kta).

Total nilai investasi keduanya mencapai sekitar US$ 8 miliar dan ditargetkan sudah dapat beroperasi sebelum akhir tahun 2025. Dengan adanya proyek ini diharapkan dapat mewujudkan hilirisasi batubara berkalori rendah serta mengurangi import lPG dan produk petrokimia lain.

Joint Venture Pertamina-Rosneft Garap Kilang Petrokimia Tuban

Anak perusahaan Pertamina, PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia, yang merupakan usaha patungan (joint venture) antara Pertamina dan Rosneft PJSC telah menandatangani perjanjian dengan Spanish Tecnicas Reunidas SA untuk melaksanakan Basic Engineering Design (BED) dan Front-End Engineering Design (FEED) terkait proyek pembangunan komplek kilang minyak dan petrokimia di Tuban, Jawa Timur.

Penandatanganan dilakukan di Moskow, Rusia. Penandatanganan ini merupakan tonggak penting atas kemajuan proyek Kilang Tuban. Sebagai bagian dari New Grass Root Refinery (NGRR) yang dibangun Pertamina, Kilang Tuban akan menjadi penopang bisnis Pertamina ke depannya.

Baik untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri, maupun untuk menghasilkan produk petrokimia yang bernilai tinggi. Kilang Tuban rencananya akan mulai berjalan pada tahun 2025. Dan dari titik inilah, klaster industri kimia baru akan tercipta di Tuban.

Usaha patungan dua perusahaan migas ini yang dibentuk pada 2017 tersebut sepakat untuk mengembangkan konsep komplek kilang dan petrokimia yang memiliki daya saing yang tinggi.

Baca Juga: Bangun Kilang Nasional, Inilah Sederet Manfaatnya

Bahkan, pabrik tersebut nantinya diprediksi akan menjadi salah satu kilang dengan teknologi tercanggih di dunia (dengan indeks kompleksitas Nelson mencapai 13,.1).

Kilang Tuban didesain untuk memiliki kapasitas pengolahan utama hingga 15 mmta, yang sebagian di antaranya akan mengolah produk petrokimia, seperti produk etilen sebanyak 1 mmta dan hidrokarbon aromatik sebanyak 1,3 mmta.

Dengan adanya tambahan kilang Tuban dan beberapa kilang lainnya, maka Indonesia diprediksi tidak perlu mengimpor BBM setelah semua proyek kilang selesai. Selain itu, Pertamina juga bisa memasok kelebihan produk hasil olahannya yang berlebih ke pasar komersial. Hal ini itu tentunya menjadi perhatian utama perusahaan untuk terus meningkatkan kinerja dan demi kesejahteraan Indonesia.

Dukungan Pemerintah Untuk Produksi Petrokimia Dalam Negeri

Dikutip dari situs kemenperin.go.id, saat ini, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong pertumbuhan industri petrokimia di Indonesia. Hal ini dikarenakan industri petrokimia merupakan salah satu industri strategis karena dapat mempengaruhi struktur Produk Domestik Bruto (PDB) dan keterkaitan dengan industri hilir lain, seperti plastik, serat sintetik, karet sintetik, kosmetik, pupuk, tekstil, dan lain-lain.

Apalagi industri ini sejatinya sangat diuntungkan oleh kondisi potensi sumber bahan baku (minyak bumi, gas alam, batubara dan biomassa) dan potensi pasar di dalam negeri yang cukup besar.

Hal senada disampaikan Fajar A.D. Budiyono, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatika, Olefin dan Plastik Indonesia. Menurutnya, industri petrokimia menjadi salah satu penunjang kemajuan ekonomi negara bersama dua industri dasar lainnya, yaitu industri logam dan industri pangan.

“Pada era 1990-an, Indonesia pernah menjadi nomor satu di Asean dalam industri petrokimia. Namun, sejak 1998 tidak ada lagi investasi baru, sementara kebutuhan terhadap produk petrokimia terus tumbuh, sehingga impor produk ini terus naik sampai dengan 60%,” ungkapnya.

Hal tersebut diakui juga oleh Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono. Kapasitas produk industri petrokimia Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan domestik yang cukup besar.

Misalnya, produk nafta cracker yang saat ini diproduksi nasional sebanyak 900 ribu ton per tahun, sementara permintaan dalam negeri 1,6 juta ton.

Namun ia meyakini, Indonesia berpotensi bisa menjadi pusat pertumbuhan industri petrokimia, bahkan bisa kompetitif di tingkat Asean maupun Asia. Hal ini karena Indonesia memiliki potensi cadangan migas hingga 7,5 miliar barrel dan 150 triliun cubic feet serta cadangan batu bara 30 miliar ton.

Peluang inilah yang ditangkap Pertamina. Sebagai satu-satunya produsen petrokimia di Indonesia yang memiliki dan mengelola sendiri feedstocknya yaitu minyak mentah dan gas bumi, ditunjang dengan pembangunan masif kilang nasional yang terintegrasi dan dapat diubah mode produksinya untuk pengolahan petrokimia.

Pertamina berupaya meningkatkan kontribusinya melalui pengembangan industri petrokimia yang telah dijalankan sejak 1970-an.

Tujuannya jelas, seperti yang diungkapkan oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam berbagai kesempatan, mengurangi impor produk petrokimia dan menghemat devisa negara.

Pengamat Energi Komaidi Notonegoro pun mendukung langkah yang dilakukan Pertamina sebagai pelaku bisnis terbesar petrokimia dalam negeri. Apalagi saat ini bisnis petrokimia saat ini kembali merangkak naik.

“Menurut saya, prospek bisnis petrokimia saat ini semakin jelas. Pemerintah juga terlihat berupaya mengintegrasikan bisnis hulu migas untuk mendorong pertumbuhan petrokimia di dalam negeri menjadi lebih progresif lagi. Ini menguntungkan bagi Pertamina sebagai BUMN energi. Namun yang perlu diingat adalah integrasi pada industri hulu dan hilir. Jangan lupa terus belajar dan menggunakan referensi pelaku bisnis petrokimia global yang sudah sukses. Kerberhasilannya bisa diduplikasi, dan kegagalannya menjadi pembelajaran,” tutupnya.

Jadi Penggerak Ekonomi Nasional

Keseriusan pemerintah terus mendorong tumbuhnya industri petrokimia bukannya tanpa alasa. Di dalam negeri, industri petrokimia digadang-gadang jadi sektor penggerak perekonomian nasional. Sebab, industri kimia berperan penting dalam memasok kebutuhan bahan baku bagi sektor manufakturnya lainnya seperti industri plastik dan industri tekstil.

Oleh karena itu, industri petrokimia dan kimia berserta turunannya serius digarap menjadi sekor unggulan dalam beberapat tahun belakangan ini.

“Sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0, industri kimia adalah satu dari lima sektor manufaktur yang sedang mendapatkan prioritas pengembangan agar siap mengimplementasikan industri 4.0,” kata Menteri Perindustrian yang waktu itu dijabat Airlangga Hartarto di Jakarta, Sabtu (28/9/2019).

Airlangga Hartarto mengungkapkan, selama ini industri kimia sebagai salah satu sektor yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan devisa. “Contohnya kita lihat dari nilai ekspornya, sepanjang periode Januari-Agustus 2019, kelompok industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia ini telah menyumbang hampir USD9 miliar,” ungkapnya.

Melihat kondisi tersebut, Airlangga menyampaikan, industri kimia kerap kali menjadi tolok ukur tingkat kemajuan bagi suatu negara, selain industri baja. “Tak heran jika keberadaan industri kimia sering menjadi backbone dari sebagian besar sektor industri di dunia,” imbuhnya.

Berdasarkan karakteristiknya, industri kimia dikategorikan sebagai jenis sektor yang padat modal, padat teknologi, dan lahap energi, sehingga perlu langkah pengembangan yang berkesinambungan di antara para stakeholder. “Sektor ini membutuhkan banyak asupan energi, sehingga besar kecil tarifnya sangat berpengaruh terhadap daya saing hingga di sektor hilirnya,” ujar Menperin.

Saat ini, produk-produk petrokimia sebagian sudah mampu diproduksi di dalam negeri, seiring dengan peningkatan investasi. “Beberapa tahun terakhir, pemerintah fokus mendorong investasi besar-besaran di industri petrokimia. Misalnya, di Cilegon sudah ada dua industri petrokimia, yakni Chandra Asri dan Lotte Chemical, yang total nilai investasinya mencapai USD7 miliar,” paparnya.

Di samping itu, bakal ada penambahan penanaman modal dalam pengembangan industri petrokimia di Tanah Air, yang berlokasi di Balongan, Indramayu, Jawa Barat. “Di sana akan ada pembangunan klaster baru hasil kerja sama Pertamina dengan CPC Taiwan. Jadi, nanti ada perusahaan induk dan beberapa perusahaan hilirnya. Total investasinya sekitar USD8 miliar,” tuturnya.

Guna mendongkrak produktivitas dan daya saing industri petrokimia nasional, menurut Airlangga, selain perlu ditopang ketersediaan infrastruktur, juga pasokan energi menjadi vital sebagai bahan baku seperti gas industri. Hal ini mengingat penggunaan gas di sektor industri berkontribusi sangat signifikan dalam struktur biaya industri.

Oleh karena itu, penyesuaian harga gas yang kompetitif perlu dilaksanakan. Selanjutnya, infrastruktur yang dibutuhkan antara lain jaringan transportasi dan pelabuhan, perlunya penguasaan riset dan pemanfaatan teknologi terkini, serta ketersediaan SDM yang kompeten sebagaimana telah ditetapkan dalam strategi implementasi Making Indonesia 4.0.

“Industri kimia diharapkan juga dapat meningkatkan kapasitas produksinya yang berbasis ethylene. Apalagi, kebutuhan plastik terus meningkat, yang saat ini mencapai 5 juta ton per tahun. Nanti yang diproduksi dari Cilegon setelah adanya ekspansi sebesar 3 juta ton per tahun, dan ditambah dari Balongan sebesar 1 juta ton per tahun,” tandasnya.

Dengan jumlah penduduk sekitar 265 juta jiwa dan dukungan sumber daya alam sebagai bahan baku industri petrokimia, baik yang tidak terbarukan maupun terbarukan, Indonesia memiliki peluang sebagai pusat pengembangan industri petrokimia di lingkungan strategis ASEAN dan Asia.

“Kami terus mendorong tumbuhnya klaster yang terintegrasi, seperti di Cilegon, Gresik, dan Bontang. Selanjutnya akan dikembangkan di Bintuni, dan salah satu Kawasan Ekonomi Khusus yang sedang direvitalisasi adalah di Lhokseumawe,” sebutnya.

Indonesia memiliki potensi besar, melalui cadangan total minyak bumi 3,3 miliar barrel, cadangan total gas bumi 135,55 Trillion Standard Cubic Feet (TSCF), dan cadangan total batubara 39,89 miliar ton. Di samping itu, Indonesia juga menjadi produsen minyak sawit mentah terbesar di dunia dengan produksi 48 juta ton per tahun (68% produksi dunia).

Reporter: Mulyono Sri Hutomo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *