Lawang Sewu, Gedung Seribu Kisah di Semarang

oleh
Gedung Lawang Sewu Semarang
Gedung Lawang Sewu Semarang. FotoL Herigate KAI id

Semarang, indomaritim.id – Lawang Sewu adalah nama gedung yang menjadi saksi perkembangan perkeretaapian di Indonesia. Lawang Sewu, turut menjadi bagian sejarah rangkaian panjang roda besi yang ditandai dengan pembangunan jalan kereta api di Desa Kemijen pada 17 Juni 1864 oleh LAJ Baron Sloet van den Beele yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu.

Pembangunan ini diprakarsai oleh perusahaan swasta Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pimpinan Ir JP de Bordes. Jalur kereta sepanjang 26 km yang menghubungkan Kemijen dan Tanggung itu akhirnya rampung pada 10 Agustus 1867.

Pemerintah kolonial Belanda waktu itu mulai menikmati hasil jajahannya di pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan sekitarnya yang bukan rempah-rempah yang berasal dari Ambon. Mulai dari tembakau, kopi, karet, teh cokelat, gula, juga tambang batubara mulai menuai untung saat diperdagangkan di Eropa.

Baca Juga: Karimunjawa, Surga Tersembunyi di Ujung Jepara

Itu sebabnya perlu transportasi darat yang runtut dan massal untuk mengangkut hasil bumi dan tambang menuju pelabuhan sebelum diangkut dengan kapal laut menuju pusat-pusat perdagangan di Eropa dan Asia. Angkutan massal yang populer saat itu adalah kereta api menggunakan lokomotif yang digerakan dengan mesin uap.

Kepala negara dan pemerintahan Belanda saat itu, Raja Willem I, lalu memerintahkan pembangunan jaringan kereta api guna mengangkut hasil bumi tanam paksa. Jaringan kereta api mulanya dibangun untuk mengangkut hasil bumi dari berbagai daerah di sekitar Ambawara ke gudang di Semarang untuk selanjutnya dibawa melalui kapal laut.

Tak hanya sebagai sarana transportasi hasil bumi, kereta api juga diperlukan guna mengangkut pasukan tentara kolonial Belanda memadamkan pemberontakan rakyat di berbagai wilayah pulau Jawa.

Pemerintah kolonial Belanda puas dengan pembangunan transportasi kereta api di Jawa. Setelah pembangunan jalur kereta api di Semarang-Tanggung selesai, maka diperluas pembangunan ke Yogyakarta, Ambarawa, Solo, bahkan seluruh Jawa dan luar Jawa seperti Sumatera.

Berbagai teknologi terbaru di industri transportasi kereta api didatangkan ke Jawa dari Eropa dan Amerika. Lokomotif-lokomotif berpengerak tenaga kuat berkekuatan besar siap menyusuri jaringan rel kereta api. Jejak sejarah lokomotif kereta api masih dapat dijumpai di Museum Kereta Api, Ambarawa, Jawa Tengah.

Bertambahnya jaringan rel dan gerbong, mebuat NIS perlu menambah pegawainya. Agar operasional kereta api lancar, perlu dibangun gedung baru sebagai pusat pengendali. Maka pada 27 Februari 1904 dimulai pembangunan gedung pusat NIS di Wilhelminaplein, yang sekarang menjadi kawasan Tugu Muda di Semarang.

Perancang gedung NIS adalah Prof. Jacob F Klinkhamer dan BJ Quendag. Pembangunan gedung tiga lantai berbentuk huruf L yang kemudian disebut Lawang Sewu ini baru rampung tiga tahun kemudian. Gedung ini sanggup menampung ratusan pekerja yang bertanggung jawab mengontrol operasional keretaapi di Semarang sampai Ambarawa.

Sayangnya, gedung megah pusat NIS ini hanya berfungsi beberapa tahun akibat pesatnya perkembangan perkeretaapian dan banyaknya pegawai NIS yang harus ditampung. Pusat perkeretaapian lalu dipindahkan ke Bodjongweg, yang sekarang menjadi Jalan Pemuda, Semarang.

Selanjutnya: Dari Gedung NIS Menjadi Penjara