Muslim Indonesia di Austria Sikapi Islamophobia di Barat

oleh
Duta Besar RI untuk Austria dan PBB

Wina, indomaritim.id –  “Fenomena Islamophobia di dunia Barat merupakan cerminan ketidakpahaman masyarakat Eropa terhadap citra Islam yang sebenarnya. Perlu upaya serius untuk mengubah citra Islam yang negatif menjadi Islam yang damai, sejuk, teduh, dan memberikan rahmat bagi alam semesta. Islam yang tidak saja membahas haram dan halal, dosa atau pahala, surga dan neraka, tetapi juga bagaimana menempatkan diri dengan benar dan bijak dalam pergaulan peradaban dunia”, ujar Dr. Darmansjah Djumala, Duta Besar atau Wakil Tetap RI di Wina dalam sambutannya pada pembukaan acara kajian daring yang diselenggarakan oleh Warga Pengajian Austria (Wapena) dengan tema “Menyikapi Islamophobia di Negara Barat” yang dilaksanakan melalui platform Zoom dan Youtube, Minggu (18/4/2021).

Narasumber pengkaji tunggal pada kesempatan tersebut adalah Ustadz dan intelektual muslim Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation di New York, Amerika Serikat yang telah lama berkecimpung dalam dunia interfaith dialogue di kancah internasional.

Acara kajian virtual yang menarik partisipasi sekitar 267 peserta dari Austria dan kawasan sekitarnya, dilaksanakan oleh Wapena berkolaborasi dalam Forum Muslim Indonesia di Jerman, Austria, Swiss, dan Denmark sebagai rangkaian kegiatan daring selama bulan Ramadan 1442 H bertajuk “Semarak Ramadan di Austria”. Rangkaian kegiatan antara lain menampilkan narasumber dan pakar ternama dari Indonesia di antaranya adalah KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), Ust. Syahroni, dan Ust. Salim A. Fillah.

Dipaparkan oleh Dubes Djumala bahwa topik terkait Islamophobia tidak saja penting untuk dibahas tetapi juga merupakan isu aktual yang telah berkembang menjadi sangat serius sejalan dan seiring dengan dinamika politik internasional. “Di berbagai belahan dunia, isu yang memicu Islamophobia telah menjadi komoditas politik oleh partai sayap kanan untuk memenangkan kontestasi politik. Islamophobia di dunia Barat menjadi serius karena dipicu oleh dinamika politik internasional, seperti konflik Palestina-Israel, tragedi 11 September, intervensi Barat di Timur Tengah, dan imigran atau pengungsi Timur Tengah ke Eropa, khususnya di Austria” tutur Dubes RI di Wina.

Dubes RI mengimbau para peserta agar memanfaatkan kesempatan waktu bulan suci Ramadan ini untuk terus belajar mencari ilmu pengetahuan yang dapat memberikan manfaat dan syafaat. “Diharapkan melalui pembahasan topik Islamophobia pada acara ini dapat memberikan pencerahan kepada Muslim di Eropa tentang bagaimana sebaiknya menempatkan diri dengan baik dan benar, serta pas dan dengan bijak. Tidak saja benar dalam ukuran akidah, tetapi baik dan bijak dalam ukuran etika sosial dan pergaulan internasional guna menjaga marwah Islam di Eropa.” sambung Djumala.

Dalam paparannya, Imam Shamsi Ali menggarisbawahi pentingnya untuk memastikan bahwa bulan Ramadan tidak menjadikan kita beranggapan telah menjadi “orang terbaik” dan kemudian jatuh pada perangkap Iblis dimana kita menempatkan amal ibadah tidak pada tempat dan porsinya. Sebaliknya kita harus meniru karakter nabi Ibrahim AS, yang telah diperintahkan Allah untuk membangun Ka’bah, namun senantiasa rendah hati dan berserah diri kepada Allah SWT.

Terkait dengan isu Islamophobia di dunia Barat, Imam Shamsi menuturkan pengalaman berat yang dihadapi umat Muslim di Amerika Serikat (AS) pada masa insiden serangan 9 September 2001. “Dibutuhkan komitmen, kejernihan, keberanian, kejelian, dan kemanisan hati yang ikhlas untuk menyikapi para pembenci Islam, sehingga kita terhindar dari terjerumus ke dalam perangkap yang sama, yaitu membenci mereka yang membenci kita.” tutur Imam Syamsi.

Dijabarkan oleh Imam Shamsi mengenai hal-hal yang memicu terjadinya Islamophobia di dunia Barat, antara lain adanya ketidaktahuan mengenai Islam (ignorance); kecurigaan yang dipicu oleh phobia sejarah perseteruan masa lalu negara Barat dengan dunia Islam; faktor media yang secara tidak adil dan tidak proporsional “menggoreng” isu sebagai komoditas berita; politisasi agama yang menjadikannya sebagai kendaraan politik tidak saja di Barat tapi juga di kalangan Muslim termasuk Indonesia;  dan adanya kegagalan Umat Muslim untuk menerjemahkan nilai nilai Islam ke dalam kehidupan sehari-hari guna menjadi teladan kepada orang atau kelompok lainnya.

Imam Shamsi mengingatkan bahwa di tanah air telah terbentuk wawasan keislaman yang serba instan. Menurutnya, slogan “mati di jalan Allah” bukanlah cita cita tertinggi sebagai muslim. Perlu proses menuju ke arah itu, yaitu untuk “hidup di jalan Allah”, agar kita hidup secara Islam, agar kita hidup dan mati tetap di jalan Allah. “Mari bangun komitmen kita pada negara dengan tidak mengurangi komitmen kita pada ajaran agama kita, Islam. Komitmen kita bersama pada common ground kita yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah juga komitmen kita kepada Islam. Bangun citra Islam bukan sebagai ancaman, musuh, dan momok yang menakutkan. Tengoklah negara kami Indonesia dengan mayoritas penduduknya penganut Islam yang rahmatan lil alamin” seru Imam Shamsi.

Pada kesempatan kajian virtual tersebut juga ditayangkan beberapa video mengenai Nusantara Foundation yang sedang membangun Pesantren pertama di AS. Telah didapatkan sebidang lahan di Connecticut seluas 7,5 hektar untuk pembangunan masjid dan pesantren atau pusat pendidikan Islam. Proyek tersebut merupakan cerita masa depan masyarakat Indonesia yang memberikan kontribusi positifnya guna menjembatani Islam dengan dunia Barat serta memberikan solusi bagi penghapusan masalah Islamophobia dunia di masa mendatang.

Reporter: Zeynita Gibbons

Editor: Haresti Amrihani

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *