Prajurit TNI Terakhir di Timor-Timur

oleh
Marinir memasuki lambung kapal KRI Teluk Banten-516. Foto: Dispenal
Marinir memasuki lambung kapal KRI Teluk Banten-516. Foto: Dispenal

Timor Leste, yang sebelumnya bernama Timor Timur menyimpan banyak kenangan bagi Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio, Kepala Staf TNI Angkatan Laut periode 2012 hingga 2015 yang kini menjadi penasihat Kemenko Maritim dan Investasi Bidang Pertahanan dan Keamanan.

Jelang pisahnya provinsi ke-27 itu, Letkol Laut (P) Marsetio adalah komandan kapal kombatan KRI Nala 363 sekaligus Komandan Satuan Tugas Laut di Timor Timur. Korvet KRI Nala, yang merupakan nama Panglima Laut Kerajaan Majapahit, berada di antara Dili dan Pulau Kambing untuk pengamanan KRI Teluk Banten-516 dan KRI Teluk Penyu-513 yang bertugas membawa pulang pasukan terakhir TNI/Polri dari Pelabuhan Dili.

Tugas yang diembannya jelas, mengawal dua kapal pengangkut pasukan membawa seluruh personel Batalion Infantri Lintas Udara 700 yang menjadi prajurit terakhir TNI keluar dengan aman dari Timor-Timur.

Saat itu, situasi memanas. Mendekati pelabuhan Dili, dua kapal fregat dan destoyer, berlayar dalam kecepatan tinggi menuju posisi KRI Nala. Kapal itu melaju dari tenggara dengan kecepatan 30 knot dan dari utara timur laut dengan kecepatan 20 knot.

Dua kapal tersebut adalah fregat Australia, HMAS Sdyney dan destoyer HMAS Glasgow, milik Angkatan Laut Inggris, veteran Perang Fakland/Malvinas.Secara bersamaan, kedua kapal perang tersebut secara provokatif menggertak KRI Nala dengan harapan kapal perang RI itu mengubah haluan.

Tapi KRI Nala tidak bisa digertak. Letkol Marsetio tetap setia pada haluannya. Meskipun kapalnya lebih kecil, KRI Nala tidak mau dilecehkan. Apalagi KRI Nala berada di perairan teritorial, dan Timtim masih bagian dari Indonesia meskipun pro kemerdekaan telah memenangi jejak pendapat. Dengan kemampuan manuver, ketiga kapal perang Indonesia tetap pada tugasnya untuk membawa tentara terakhir Indonesia keluar dari Timor-Timur.

Baca Juga: Adu Nyali di Laut Timor

KRI Nala-363 meluncurkan peluru kendali exocet (Foto: Dispenal)
KRI Nala-363 meluncurkan peluru kendali exocet (Foto: Dispenal)

Bendera Merah Putih Turun di Timor Timur

Sabtu, 30 Oktober 1999 tepat pukul 09.00 waktu setempat menjadi penanda turunnya bendera Indonesia di Timor-Timur. Upacara penurunan bendera, dipimpin oleh Brigjen (Pol) JD Sitorus yang saat itu menjadi Ketua Indonesa Task Force in East Timor (ITFET) di Markas Batalyon Lintas Udara (Linud) 700, kawasan Faroul, kota Dili bagian barat.

Wartawan Kompas, CM Rien Kuntari menuturkan di buku ‘Timor-Timur Satu Menit Terakhir: Catatan Seorang Wartawan’ bendera diturunkan dengan perlahan-lahan dan penuh khidmat oleh Praka Sahabuddin, Pratu Mansur, dan Pratu Burhanuddin. Bendera lalu dilipat dan disimpan rapi.

“Tak ada pula dentuman genderang atau terompet yang biasa dilakukan dalam upacara kemiliteran. Tak sedikit pun suara-suara itu terekam dalam organ pendengaran kami. Bersama wartawan Utusan Malaysia, kami mengikuti detik-detik terakhir kibaran dan penurunan bendera Merah Putih, dari depan pagar RT-Tang,” ungkap Rien Kuntari.

Menantang Maut, Mendarat di Geladak

Pendaratan helikopter di geladak KRI Teluk Banten-516. Foto: Dispenal
Pendaratan helikopter di geladak KRI Teluk Banten-516. Foto: Dispenal

Brigjen Pol JD Sitorus, Komandan Indonesian Task Force in East Timor (ITFET) bersama wakilnya, Kolonel (CZI) Suryo Prabowo berada dalam posisi sulit. Mereka berdua merupakan perwira senior Indonesia yang seharusnya sudah meninggalkan kota Dili.

Namun, sebagai komandan, Brigjen Sitorus dan Kolonel Suryo pilih mendampingi pasukan. Tetapi pilihan itu bisa menimbulkan tuduhan serius: Indonesia mengulur-ulur waktu untuk tetap tinggal di Dili.

Sebagai jalan keluar, langkah strategis ditempuh meskipun menantang maut. Kedua perwira senior tersebut meninggalkan Bandara Komoro menggunakan helikopter Pusat Penerbangan TNI AD (Penerbad), sebagai bentuk pernyataan bahwa mereka sudah angkat kaki dari Timor-Timur.

Baca Juga: Si “Monyet” Lusitania Nyaris Ditenggelamkan

Lalu, dimana helikopter mendarat? Tujuan mereka adalah KRI Teluk Banten-516 yang memiliki geladak pedaratan helikopter. Saat itu, KRI Teluk Banten-516 sudah mendekat ke pelabuhan Dili dengan kawalan KRI Nala-363 untuk mengamankan kapal dari gangguan kapal kombatan musuh.

Persolan kemudian timbul. Pilot helikopter adalah penerbang TNI AD yang sepanjang karirnya belum pernah mendarat di geladak kapal yang sedang bergerak. Berbeda dengan penerbang helikopter TNI AL yang memiliki jam terbang latihan tinggi mendarat di geladak kapal yang bergerak dalam berbagai cuaca. Sedangkan saat itu, KRI Teluk Banten-516 sedang bergerak dengan kecepatan penuh agar segera merapat di sekitar pelabuhan Dili.

Resiko pendaratan helikopter itu sungguh besar, seolah menantang maut. Salah detik perhitungan, bisa menyebabkan helikopter jatuh ke laut. Atau helikopter terhempas ke geladak kapal yang menimbulkan kebakaran dan ledakan. Namun, keputusan telah diambil Brigjen Sitorus dan Kolonel Suryo Prabowo. Mereka harus kembali ke tengah pasukan terakhir TNI.

“Saya meminta izin kepada Komandan Satuan Tugas Laut, Letkol Marsetio yang dengan berbagai pertimbangan mengizinkan pendaratan itu,” kata Laksamana Madya TNI (Purn) Widodo menceritakan kisah langka tersebut. Laksamana Madya TNI (Purn) Widodo saat itu berpangkat Letkol dan menjabat sebagai komandan KRI Teluk Banten.

Dengan penuh keberanian tanpa mengurangi kecepatan KRI Teluk Banten-516, di hari yang mulai senja, pukul 17.20 WITA, Kapten (Inf) Agus Yaman dan co-pilot Letda Kadek Prayitno dengan arahan teknis dari perwira KRI Teluk Banten-516, berhasil mendarat di geladak dengan baik.

Para penumpang turun dengan raut muka kelegaan. Mereka disambut Komandan KRI Teluk Banten-516, Letkol Laut (P) Widodo, untuk bersama-sama ke Dili menjemput prajurit Batalyon Linud 700.

KRI Teluk Banten-516 akhirnya beaching pada pukul 20.00 WITA agak jauh dari pantai karena air laut surut. Satu persatu prajurit Batalion Infantri Lintas Udara 700 berjalan di bibir pantai, melewati air laut setinggi paha. Mereka memasuki lambung kapal KRI Teluk Banten.

Batalion Infantri Lintas Udara 700 diangkut menuju Pelabuhan Ujung Pandang, yang kini bernama Pelabuhan Makassar. Minggu, 31 Oktober 1999, tepat pukul 05.00 WITA, KRI Teluk Banten bergerak mengangkut prajurit TNI terakhir dari Timor-Timur.

KRI Nala tetap berpatroli di perairan Dili sebelum bergerak ke Kupang mengawal kapal angkut pasukan yang sudah meninggalkan Pelabuhan Dili. KRI Nala bersama KRI Teluk Banten dan KRI Teluk Penyu merupakan kapal perang terakhir Indonesia yang meninggalkan Timor Timur.

Baca Juga: KRI Usman Harun, Kapal Perang yang Membuat Singapura Meradang

(Disarikan dari buku biografi Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio: “Kesadaran Baru Maritim” oleh Rajab Ritonga)

Responses (2)

  1. Suatu kenangan yang sangat memilukan seolah olah seperti kalah perang….tapi secara pribadi saya tidak kecewa dengan pisahnya Timor Timur dari wilayah NKRI, karena tanah itu tak menghasilkan apa apa untuk kontribusi Indonesia…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *