Jakarta, indomaritim.id – Stunting masih menjadi masalah yang cukup serius di Indonesia. Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan angka prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi yakni 30 persen. Stunting merupakan sebuah kondisi dimana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya.
Penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal anak lahir yang biasanya tampak setelah anak berusia dua tahun. Stunting memiliki dampak otak dan fisik anak sulit berkembang, kognitif, produktivitas dan kesehatan lebih rendah. Tetapi tidak semua anak yang berperawakan lebih pendek mengalami stunting.
Penuntasan stunting pada anak sebagai suatu permasalahan multifaktorial, medis, sosial ekonomi, politik dan emosional. Stunting di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi prioritas pemerintah.
Tingginya angka dan permasalahan stunting yang ada di Indonesial, diangkat Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) yang telah dikukuhkan sebagai Guru Besar ke-16 Ilmu Kesehatan Anak FKUI pada kegiatan Sidang Terbuka dan Upacara Pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) 2021 yang dilakukan secara daring.
Pengukuhan Guru Besar ini menunjuukan Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI, (Hon.) terus berkomitmen dan berkontribusi dalam menangani permasalahan stunting dengan terus melakukan penelitian di sejumlah daerah di Indonesia.
“Masalah stunting harus dilihat secara komprehensif, menelaah dari berbagai faktor yang bisa memengaruhinya, termasuk standar pengukuran yang digunakan. Stunting erat dikaitkan dengan masalah nutrisi, tetapi hubungan antara nutrisi dan pertumbuhan linear masih diperdebatkan,” kata Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan kepada pewarta, Jumat (19/3/2021).
Ia menambahkan, berbagai penelitian menunjukkan bahwa intervensi berupa peningkatan asupan gizi tidak dapat memperbaiki pertumbuhan linear secara bermakna. Penelitan yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat menunjukkan pemberian makanan tambahan kepada anak stunted tidak menghasilkan kenaikan berat badan dan tinggi badan yang signifikan. Sedangkan, Penelitian di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan Bali menunjukkan tidak ada hubungannya ketebalan lipat lemak kulit (indikator nutrisi) dengan tinggi badan.
Oleh karena itu, ujar Prof. Dr. Aman B. Pulungan, penyebab perawakan pendek anak-anak ini mungkin disebabkan oleh hal lain. Penggunaan stunting sebagai indikator status gizi dapat mengalihkan perhatian dari masalah lingkungan dan sosial yang memiliki dampak besar terhadap pertumbuhan anak karena diskusi mengenai stunting terlalu dititikberatkan pada masalah gizi. Para ahli mengemukakan pemikiran bahwa masalah stunting bukan hanya nutrisi, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, politik, dan emosional.
Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa kesenjangan sosial dan kurangnya kesempatan mobilisasi sosial di suatu populasi diduga lebih berkontribusi pada pendeknya tinggi badan. Studi tentang pertumbuhan anak balita Korea Utara dan Korea Selatan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa anak balita di Korea Selatan lebih tinggi enam sampai tujuh sentimeter dibandingkan Korea Utara. Populasi Jerman Timur juga lebih pendek jika dibandingkan populasi Jerman Barat sebelum Tembok Berlin diruntuhkan.
Faktor genetik juga diprediksi menjadi salah satu yang mempengaruhi tinggi badan. Melalui penelitian disertasi yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI(Hon.) di Rampasasa, Flores menjelaskan, “Populasi yang lebih pendek dari rerata nasional. Lelaki dewasa pada kelompok pigmoid Rampasasa mempunyai tinggi badan di bawah 150 cm, sedangkan tinggi badan perempuan dewasa di bawah 140 cm.”
Penelitian ini menunjukkan bahwa populasi pigmoid tidak mengalami malnutrisi, sehingga perawakan pendek mereka tidak termasuk stunting. Penggunaan kurva pertumbuhan yang tidak tepat dapat menyebabkan over-diagnosis stunting dan underweight, terutama pada populasi Asia, yang secara umum dianggap lebih pendek dan lebih rendah berat badannya dibandingkan populasi di Eropa dan Amerika.
“Tingginya angka stunting di Indonesia dan perhatian pemerintah serta alokasi dana yang tinggi menunjukkan pentingnya akurasi dalam pengukuran pertumbuhan anak,” ujar Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan.
”Berdasarkan berbagai penelitian, dalam mengatasi stunting dan meningkatkan kesehatan anak Indonesia perlu melihat faktor sosial, ekonomi, politik, dan emosional. Pencegahan dan deteksi dini sangat penting dalam manajemen gangguan pertumbuhan seperti stunting,sehingga sistem yang sudah berjalan di Indonesia berpotensi untuk ditingkatkan, misalnya penggunaan buku KIA dan pemanfaatan Posyandu,” imbuhnya.
“Dalam mendukung perkembangan digitalisasi dan mempermudah akses layanan kesehatan di daerah rural Indonesia, kehadiran smartphone dapat dimanfaatkan untuk kesehatan anak, misalnya penggunaan aplikasi seperti PrimaKu. Aplikasi pemantauan pertumbuhan anak dapat membantu orangtua dalam upaya deteksi dini jika anaknya mengalami gangguan pertumbuhan,” ujar Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan memungkasi.
Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) lahir di kota Medan. Ia menyelesaikan Pendidikan Dokter Umum di Universitas Sumatera Utara pada tahun 1984. Sebelumnya pernah menjadi fellow sebagai mahasiswa kedokteran di Harvard University dan Tulane University, Amerika Serikat.
Aman B. Pulungan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada tahun 1996. Ia juga pernah menjalani pendidikan sebagai fellow di bagian endokrinologi anak di Vrije Universiteit, Amsterdam.
Pada tahun 2002, ia menyelesaikan pendidikan spesialis II (konsultan), Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Undonesia. Puncaknya meraih gelar Doktor (S3) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 2015.
Selain aktif bekerja sebagai dokter spesialis anak konsultan endokrinologi, ia aktif di organisasi nasional maupun internasional. Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) juga tetap berkontribusi dalam komunitas keluarga dan pasien penyakit tidak menular, diantaranya yaitu sebagai Pembina di Komunitas Keluarga Hiperplasia Adrenal Kongenital, Ikatan Keluarga Penyandang Diabetes Melitus pada Anak dan Remaja, Yayasan Turner Indonesia, dan Forum Osteogenesis Imperfecta Indonesia.
Hingga saat ini, Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) telah diundang sebagai pembicara pada kongres Ilmiah Internasional sebanyak 45 kali, pembicara seminar dalam negeri sebanyak lebih dari 121 kali, serta memiliki 25 karya publikasi sebagai penulis utama, 42 karya sebagai penulis pembantu, serta 31 karya ilmiah berupa buku.
Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) adalah pemegang hak cipta Kurva Pertumbuhan Nasional Indonesia dan Aplikasi dan Buku Manual Pediatric Online Immunization Reporting System (I-Points).
Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) juga mendapatkan tanda penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu Satya Lencana Karya Satya pada tahun 2009 dan penghargaan dari Menteri Kesehatan sebagai individu yang berperan dalam pembangunan kesehatan, serta meraih beberapa penghargaan luar negeri di antaranya Award by Turkish National Pediatric Society for Dedication and Contribution to Child Healthpada November 2018 dan Honorary fellowship, Royal College of Physicians of Ireland, in recognition of significant Contribution to Paediatrics and Child Health pada tahun 2019.