Ahmad Nurhasim, The Conversation
Perairan Indonesia Timur punya banyak harta karun berupa organisme yang unik dan menarik tapi tidak banyak diketahui oleh peneliti dalam negeri. Di Ambon, banyak ekspedisi ilmiah sejak 1800, tapi yang melakukannya mayoritas dari luar negeri: Denmark, Belanda, Perancis, dan Amerika.
Para ilmuwan Barat itu “mengeduk-eduk” kekayaan alam laut Indonesia untuk riset ilmiah. Yosmina Tapilatu, peneliti dari Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menjelaskan kekayaan laut dalam di Indonesia timur yang belum banyak ditelusuri oleh peneliti dalam negeri.
Lima tahun pasca Perang Dunia Kedua, sebuah kapal bernama Galathea bergerak dari pelabuhan di Copenhagen, Denmark, bersama 120 orang awak kapal. Setelah berbulan-bulan berlayar, mereka tiba di Laut Banda. Ekspedisi Galathea bersejarah bagi penelitian bakteri laut dalam. Para ilmuwan yang ikut ekspedisi ini berhasil mengungkap keberadaan fauna misterius penghuni ribuan meter laut dalam. Ahli mikrobiologi laut Profesor Claude Zobbel dari University of California jadi ilmuwan pertama yang meneliti bakteri laut dalam Indonesia.
Sama seperti Zobbel, Yosmina Tapilatu juga tergila-gila dengan bakteri laut dalam, khususnya di perairan Indonesia Timur yang terbentang dari Selat Makassar, Laut Banda, Laut Sulawesi, dan sebagian Samudera Pasifik.
Kesenjangan riset memang terjadi. Untuk setiap satu publikasi yang terbit mengenai bakteri laut dari Indonesia timur, ada tujuh sampai delapan yang diterbitkan mengenai tema serupa dari Indonesia barat. Perbandingannya 1:7-1:8. Itu membuktikan bahwa eksplorasi bakteri laut di kawasan Indonesia timur belum ada apa-apanya dibandingkan dengan bagian barat.
Untuk eksplorasi laut dalam, para ilmuwan seperti Yosmina perlu dukungan negara. Mereka butuh kapal riset, laboratorium mikrobiologi, tenaga peneliti, dan tentu saja dana riset yang besar.
Edisi ke-43 Sains Sekitar Kita ini disiapkan oleh Ihsan Raharjo dan narator Malika. Selamat mendengarkan!
Ahmad Nurhasim, Editor Sains + Teknologi, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.