Selamat Jalan Pak Habibie, Pelayan Rakyat Indonesia

oleh
Rajab Ritonga (kedua dari kanan) bersama sejumlah wartawan istana mewawancarai Prof. Dr. Ing. Baharuddin Jusuf Habibie. Foto: Koleksi pribadi
Rajab Ritonga (kedua dari kanan) bersama sejumlah wartawan istana mewawancarai Prof. Dr. Ing. Baharuddin Jusuf Habibie. Foto: Koleksi pribadi

Kepergian Presiden RI periode 1998-1999, Prof. Dr. Ing. Baharuddin Jusuf Habibie, menghadap Sang Khalik pada Senin (11/9/2019) menimbulkan rasa duka yang mendalam bagi rakyat Indonesia, termasuk para wartawan istana yang dulu meliput kegiatan kepresidenan semasa Pak Habibie menjabat Wakil Presiden, dan kemudian Presiden. Banyak kenangan indah tersimpan selama 512 hari bertugas mengikuti kegiatan kepresidenan Pak BJH, begitu beliau disapa oleh wartawan istana.

Kami, para wartawan istana yang ketika itu bertugas, adalah saksi mata dan memberitakan kepada dunia, saat Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden RI melalui sebuah pernyataan yang beliau sampaikan di ruang kredensial Istana Merdeka. Hari itu, 21 Mei 1998, Pak Habibie sebagai Wakil Presiden resmi menjadi Presiden ketiga Indonesia, dalam sebuah suasana mengharu biru di depan ratusan wartawan dalam dan luar negeri yang meliputnya.

Kami juga reporter yang pertama kali mendengar informasi Jajak Pendapat bagi rakyat Timor Timur (Timtim) yang diputuskan Presiden Habibie dalam Sidang Kabinet Politik dan Keamanan, 27 Januari 1999. Sidang kabinet itu pada akhirnya berujung lahirnya negara baru, Timor Lorosae melalui referendum yang dimenangi kelompok pro kemerdekaan (78,5 persen), mengalahkan pro otonomi (21,5 persen).

Masih teringat, usai sidang kabinet, Menteri Luar Negeri Ali Alatas dengan wajah tidak cerah menyampaikan hasil sidang kabinet dalam konferensi pers di Bina Graha.

Para wartawan istana juga menjadi saksi, bagaimana Pak Habibie dengan tim ekonominya bekerja menurunkan nilai dolar AS yang menggila sejak masa reformasi. Kala itu nilai rupiah menyentuh hingga Rp17.000 per satu dolar AS. Pak Habibie berhasil menguatkan nilai rupiah menjadi Rp. 6.500 per satu dolar AS. Rasanya hingga kini prestasi itu tidak terulang kembali, mata uang dolar AS terlalu tangguh untuk disaingi rupiah.

Saat pidato pertanggunjawabannya sebagai Presiden ditolak oleh Sidang Umum MPR, kami para wartawan istana menjadi saksi bagaimana tulusnya jiwa Pak Habibie sebagai negarawan. Beliau tidak memaksakan kehendak untuk tetap berkuasa. Di Patra Kuningan, beliau dengan jernih menyatakan tidak bersedia dicalonkan kembali menjadi presiden. Pak Habibie juga tidak marah saat saat ratusan anggota DPR melecehkannya, tidak berdiri saat Presiden memasuki ruang Sidang Umum MPR/DPR.

Banyak lagi kenangan bersama Presiden Habibie yang memerintah Indonesia sejak 21 Maret 2018 hingga 20 Oktober 1999. Salah satu kenangan indah, dan rasanya tidak akan terulang lagi bagi wartawan istana masa kini adalah soal kopiah. Pada masa itu, semua pria wartawan istana wajib berkopiah sebagaimana Pak Habibie setiap hari memakainya.

Selain mengenakan kopiah, wartawan juga berdasi dan baju lengan panjang, sebagai busana harian bila tidak ada acara kenegaraan. Bila ada acara resmi, wartawan harus berpakaian sipil lengkap (tuksedo): jas berwarna gelap, dasi dan songkok. Untuk wartawati pakaiannya lebih modis, tidak berkebaya, melainkan rok dipadu blazer berwana gelap.

Pakaian seperti itu harus dipakai saat berada di lingkungan istana maupun di rumah pribadi Pak Habibie di kawasan Patra Kuningan. Dulu, masa Pak Harto maupun Pak Habibie, mereka biasa menerima tamu untuk urusan kenegaraan di rumah pribadi. Korps wartawan istana lantas memiliki “press room” di Jl. Cendana, maupun di Patra Kuningan selama menunggu acara kegiatan Pak Harto dan Pak Habibie.

Pak Habibie setiap hari mengenakan kopiah saat berkantor di istana maupun ketika menerima tamu di kediamannya. Beliau selalu tampil rapih dengan jas dan dasi. Untuk resepsi kenegaraan, Pak Habibie mengenakan dasi kupu-kupu dan kopiah yang disebut sebagai peci nasional. Tentang kopiah dan dasi kupu-kupu itu, rupanya mengandung makna filosofis. Suatu ketika Pak Habibie bercerita kepada para wartawan, saat menjamu tamu negara dari kawasan Pasifik, sang tamu bertanya tentang makna kopiah dan dasi kupu-kupu yang dipakai para pelayan.

Para pelayan istana dalam melayani tamu negara selalu mengenakan jas putih dengan dasi kupu-kupu serta mengenakan kopiah hitam. Presiden Habibie juga sama, berkopiah dan berdasi kupu-kupu, meskipun jasnya tidak berwarna putih. Sang tamu lantas bertanya, mengapa presiden berpakaian mirip para pelayan. Pak Habibie menjawab, presiden adalah pelayan rakyat Indonesia. Itu sebabnya dia juga berdasi kupu-kupu dan mengenakan songkok nasional.

Mungkin filosofi itu pula yang menjadi asalan mengapa wartawan istana sebagai pelayan informasi bagi rakyat Indonesia mengenakan kopiah. Bila tidak sedang meliput, wartawan tidak wajib berkopiah, hanya mengenakan toksedo.

Saya saat masih menjadi wartawan Kantor Berita Antara yang bertugas di istana, bersama Usamah Hisyam (Media Indonesia), Hersubeno Arief (Editor), Solemanto (Harian Terbit), Sukri Alvin (Pos Kota), pernah menghadap Presiden Habibie, tanpa harus mengenakan kopiah.

Hubungan Pak Habibie dengan korps wartawan istana juga cukup erat. Wartawan bisa mendekat dan bertanya usai sebuah acara di istana. Keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi di masa Pak Harto. Wartawan tidak diperkenankan mendekat, apalagi mengajukan pertanyaan. Berbeda dengan Pak Habibie. Beliau yang membuka keran kebebasan pers di Indonesia, memberi kebebasan kepada wartawan istana untuk bertanya sepanjang situasinya memungkinkan. Wartawan istana yang tidak terbiasa mewawancara doorstop presiden, jarang menggunakan kesempatan itu.

Juga, tidak ada lagi wajah “seram” dari para pengawal, menghalau wartawan untuk tidak berkeliaran saat presiden mau lewat, seperti pada masa-masa sebelum beliau. Pak Habibie juga akrab dengan para wartawan. Beliau dengan senyumnya yang khas, selalu menyapa wartawan, bahkan menyediakan sebuah ruangan khusus bagi wartawan di belakang masjid Baiturahim, agar dekat dengan Istana Merdeka, tempat beliau sehari-hari berkantor.

Wartawan istana, dulu merupakan “kelompok elite wartawan”, sebab tidak mudah untuk bertugas di istana. Selain harus berstatus wartawan senior, reporter yang ditempatkan di istana harus menjalani berbagai tes sebelum dinyatakan lolos meliput di sana.

Para wartawan antara lain menjalani skrining (penelitian khusus) untuk memastikan mereka benar-benar “bersih lingkungan”. Itu sebabnya para wartawan terpilih itu bisa menempatkan dirinya secara protokoler dalam setiap kegiatan kenegaraan, termasuk dalam meliput kegiatan Presiden Habibie di luar istana dan di luar negeri.

Video ini juga menjadi kenangan, ketika saya menjadi saksi mata saat BJ Habibie dilantik sebagai Presiden RI:


(Rajab Ritonga/Pemimpin Redaksi Indomaritim.id, dan Telstrat.online).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *