Jakarta, indomaritim.id – Pemerintah semakin fokus meningkatkan nilai ekspor nasional, terutama dari sektor industri. Diharapkan, kontribusi ekspor sektor manufaktur dapat memperkuat struktur perekonomian saat ini. Sepanjang tahun 2019, industri memberikan kontribusi terbesar hingga tembus 126,57 miliar dollar AS atau 75,5% dari capaian nilai ekspor nasional.
“Oleh karena itu, kami memberikan perhatian serius terhadap pengembangan sektor-sektor industri yang berorientasi ekspor,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita ketika menjadi narasumber pada Rapat Kerja Kementerian Perdagangan Tahun 2020 di Jakarta, Rabu (4/3/2020).
Adapun lima sektor industri pengolahan nonmigas yang mencatatkan nilai ekspornya paling besar pada tahun 2019, yakni industri makanan dan minuman yang mampu menembus hingga 27,28 miliar dollar AS. Kemudian, industri logam dasar sebesar 17,37 miliar dollar AS, serta industri tekstil dan pakaian jadi mencapai 12,90 miliar dollar AS.
Selanjutnya, industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia menyumbang 12,65 miliar dollar AS, serta industri barang dari logam, komputer, barang elektronik, optik dan peralatan listrik yang menyetor senilai 11,91 miliar dollar AS.
“Pada Januari 2020, nilai ekspor produk industri mencapai 10,52 miliar dollar AS atau berkontribusi sebesar 78,45% dari total nilai ekspor nasional sebesar 13,41 miliar dollar AS,” ungkap Menperin. Nilai ekspor terbesar diberikan industri makanan dan minuman (2,10 miliar dollar AS), diikuti industri logam dasar (1,74 miliar dollar AS) serta industri tekstil dan pakaian jadi (1,08 miliar dollar AS).
Agus menyebutkan, Amerika Serikat menjadi negara tujuan utama pengapalan produk industri nasional. Negara berikutnya, China, Jepang, Singapura, dan India. “Pemerintah terus berupaya membuka akses perluasan pasar ekspor, terutama ke negara-negara nontradisional,” tegasnya.
Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian bersama pemangku kepentingan terkait saling bersinergi untuk semakin mendongkrak daya saing produk manufaktur agar bisa menembus kancah internasional. “Dalam hal ini, negara harus hadir. Misalnya, kami terus berkoordinasi dengan Kemendag,” ujarnya.
Menperin menyebutkan, upaya strategis untuk menggenjot nilai ekspor produk industri nasional, antara lain dilakukan melalui diversifikasi produk industri unggulan, membuka secara agresif pasar-pasar baru, dan mendorong investasi untuk menjadikan Indonesia sebagai basis ekspor.
“Contohnya, kita perlu memanfaatkan peluang adanya Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), dengan mendorong industri otomotif di Tanah Air agar bisa mengisi pasar ekspor ke Australia,” paparnya.
Di samping itu, Kemenperin sudah memetakan 15 sektor yang akan mendapat prioritas pengembangan untuk digenjot kinerja ekspornya. Ke-15 sektor potensial tersebut, yakni industri pengolahan minyak kelapa sawit dan turunannya, industri makanan, industri kertas dan barang dari kertas, industri crumb rubber, ban, dan sarung tangan karet, industri kayu dan barang dari kayu, serta industri tekstil dan produk tekstil.
Selanjutnya, industri alas kaki, industri kosmetik, sabun, dan bahan pembersih, industri kendaraan bermotor roda empat, industri kabel listrik, industri pipa dan sambungan pipa dari besi, industri alat mesin pertanian dari besi, industri elektronika konsumsi, industri perhiasan, serta industri kerajinan.
“Bahkan, kita punya Pindad, yang tidak hanya ahli memproduksi alutsista, tetapi juga ahli membuat alat berat yang berkaitan dengan konstruksi dan pertanian. Ini satu hal yang membanggakan, dan kami akan dorong supaya mereka juga bisa ekspor, seperti kita ekspor gerbong kereta api yang diproduksi oleh INKA. Selain itu kita juga sudah ekspor dari produk PT PAL dan PT DI,” imbuhnya.
Menperin berharap kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dapat memperluas fasilitasnya untuk jenis-jenis produk manufaktur nasional yang punya potensi pasar ekspor. Salah satu fasilitas yang diberikan untuk mengerek ekspor produk industri, yaitu melalui Penugasan Khusus Ekspor (PKE).
“Kami juga concern terhadap hilirisasi dan substitusi impor, untuk menekan defisit neraca perdagangan. Langkah strategis yang telah kami jalankan, misalnya kami mengidentifikasi komoditas-komoditas yang bisa kita batasi atau bahkan tutup keran ekspornya. Tujuannya adalah untuk menarik investasi di sektor tersebut, terutama dalam proses hilirisasi agar meningkatkan nilai tambah di dalam negeri,” jelasnya.
Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah, yang sudah berhasil melakukan hilirisasi terhadap nickel ore menjadi stainless steel. Dari kawasan terintegrasi ini mampu menyumbang nilai ekspornya sebesar USD4 miliar, baik itu pengapalan produk hot rolled coil maupun cold rolled coil ke Amerika Serikat dan China.
Di samping itu, investasi di Kawasan Industri Morowali terus menunjukkan peningkatan, dari tahun 2017 sebesar USD3,4 miliar menjadi USD5 miliar sepanjang tahun 2018. Jumlah penyerapan tenaga kerjanya pun terbilang sangat besar, mencapai 30 ribu orang.
Reporter: Mulyono Sri Hutomo
Editor: Rajab Ritonga