Waspada Potensi Konflik di Laut Cina Selatan

oleh
Kepala Staf TNI Angkatan Laut periode 2012 – 2015 dan Guru Besar Ilmu Pertahanan di Universitas Pertahanan, Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio. Foto: istimewa
Kepala Staf TNI Angkatan Laut periode 2012 – 2015 dan Guru Besar Ilmu Pertahanan di Universitas Pertahanan, Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio. Foto: istimewa

Jakarta, indomaritim.id – Laut Cina Selatan berpotensi menjadi tempat konflik baru. Berada di sisi utara pulau Kalimantan, Laut Cina Selatan menjadi jaringan konflik klaim wilayah kompleks yang saling tumpang tindih antara Tiongkok, Taiwan, Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei. Potensi konflik ini perlu diwaspadai oleh Indonesia.

“Pasca Perang Dunia kedua, perang laut ke depan bukan lagi di Eropa dan Timur Tengah tetapi sudah bergeser ke kawasan Asia Pasifik khususnya Laut China Selatan,” kata Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan) Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr Marsetio, pada BKI Webinar Marathon yang diselenggarakan oleh BKI Academy via Zoom bertema “Geopolitik Maritim Pasca Pandemi Covid-19”, Selasa (12/5/2020).

“Faktor yang mempengaruhi hal tersebut dikarenakan potensi sumber daya alam yang sangat melimpah di kawasan Laut Cina Selatan, juga adanya pengerahan kekuatan secara besar-besaran baik oleh Tionkok maupun Amerika Serikat beserta sekutunya,” lanjut Marsetio.

Ia menambahkan, sejak diluncurkannya program One Belt One Road (OBOR) yang kini menjadi Belt and Road Initiative (BRI) oleh Tiongkok, negeri yang dipimpin oleh Xi Jinping itu ingin menguasai kawasan strategis di Asia Pasifik hingga ke Timur Tengah dan Afrika.

“Hadirnya Tingkok bukan dengan kekuatan bersenjatanya tapi juga dengan menguasai pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Asia Pasifik hingga ke Timur Tengah dan Afrika. Selain itu kekuatan angkatan lautnya juga sudah mengarah dari green water navy ke blue water navy,” ujarnya.
Marsetio yang juga Penasihat Ahli Menko Maritim dan Investasi untuk Pertahanan dan Keamanan ini juga menyatakan, walaupun Amerika Serikat dan Tiongkok mengerahkan kekuatannya namun tidak ada pernyataan resmi dari mereka soal akan terjadinya perang.

“Adanya perang itu hanya disampaikan oleh analis secara individu. Kalau dilihat dari Ken Booth theory, angkatan laut memiliki peran military, diplomacy dan constabulary, nah sekarang semuanya sedang menjalankan peran diplomacy untuk menghindari perang,” ujarnya.

Peran Indonesia di ASEAN Untuk Redakan Ketegangan di Laut China Selatan

Pada webinar sebelumnya bertema “Mewujudkan Sinergi Berbagai Komponen Bangsa dalam Menghadapi Wabah Covid-19 ” yang digelar atas kerja sama Jakarta Defence Studies (JDS) dengan Universitas Pertahanan (Unhan), di Jakarta, Selasa (28/4/2020), Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr Marsetio menekankan peran Indonesia dan ASEAN.

Menurut Marsetio, peranan Indonesia lewat ASEAN sangat besar dalam rangka menghadapi Covid-19. Apalagi lagi ditengah pandemi, eskalasi konflik di Laut China Selatan meningkat. Memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok turut menyeret pada meningkatnya eskalasi konflik di Laut China Selatan.

Marsetio menyebut, sejak digulirkannya konsep Belt and Road Initiative (BRI), Tiongkok menjadi negara besar yang merajai perdagangan dunia. Lewat jalur kereta api yang membentang hingga Eropa dan Jalur Sutra Maritim-nya, Tiongkok memiliki pengaruh yang besar pada arus perdagangan dunia.

Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) tahun 2012-2015 mengugkapkan, dalam mengatasi pandemi ini, tidak ada negara yang bisa mandiri sehingga memerlukan sinergi dengan berbagai negara. Ia menambahkan bahwa langkah Indonesia tersebut tetap berada dalam koridor politik luar negeri bebas aktif yang mengutamakan kepentingan nasional.

Saat dunia menghadapi dampak kesehatan, sosial dan ekonomi, ketegangan di Laut China Selatan terus meningkat. Ketegangan antara negara di kawasan ini muncul setelah Tiongkok Tiongkok membentuk dua distrik baru di Kota Sansha, kota paling selatan di provinsi Hainan.

Dua distrik baru yang dibentuk ini, yang mencakup beberapa bagian di Laut Cina Selatan, termasuk yang diklaim Filipina yakni Kepulauan Spratly, Scarborough Shoal, dan Fiery Cross Reef.

Wilayah yang menjadi distrik baru ini menjadi daerah yang diklaim banyak negara. Tiongkok, Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan bersitegang soal kepemilikan Kepulauan Spratly. Sementara Fiery Cross Reef, diklaim oleh Tiongkok, Filipina, Vietnam, dan Taiwan. Sedangkan Taiwan, Cina, dan Filipina semuanya mengklaim Scarborough Shoal.

Reporter: Mulyono Sri Hutomo
Editor: 
Rajab Ritonga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *